Jakarta, – Dalam pidato tajamnya yang mengguncang nalar para pemimpin bangsa, Ranny Fahd A Rafiq menyentil realitas pahit: ketika negara-negara kecil menari di panggung kejayaan global, Indonesia justru masih terjebak di pangkal jalan sejarahnya sendiri. Negara dengan kekayaan alam melimpah ini, katanya, seolah kehilangan arah di tengah samudra potensi yang tak tergarap, ucap Ranny di Jakarta pada Rabu (16/4/2025).
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ini mengatakan “Mereka bukan raksasa. Tapi mereka cerdas. Dan karena kecerdasan itu, mereka menang,” suaranya lantang membelah ruang, menggugah kesadaran yang telah lama tertidur. Lihat Swiss. Tak punya laut, tak punya tambang, tak punya kekuatan militer, namun dunia bersujud di hadapannya. Ia berdiri netral selama ratusan tahun, dan karena netralitas itu, ia menjadi tempat rahasia para penguasa uang dunia.Swiss tidak memerintah dunia dengan senjata, tetapi dengan kepercayaan, ungkapnya.
Lebih lanjut Ranny memaparkan, “Lihat Singapura. Tak punya tanah luas, tak punya gunung emas, hanya sebuah titik kecil di peta. Namun kini, ia adalah pusat logistik, pelabuhan, dan keuangan terbesar di Asia. Dalam tempo kurang dari satu generasi, Singapura menjelma dari rawa-rawa menjadi pusat peradaban ekonomi. Dari lumpur menjadi berlian.
Belanda, Denmark, Israel. Negara kecil dengan keberanian besar. Mereka tidak menunggu keajaiban turun dari langit mereka menciptakan keajaiban itu. Mereka tidak memiliki kekayaan alam seperti Indonesia, tetapi mereka mengendalikan energi terbarukan, teknologi militer, dan pangan canggih. Bahkan Rwanda, negara di jantung Afrika yang dulu berdarah karena perang saudara, kini dijuluki “Singapura Afrika”. Selandia Baru, yang bahkan dunia lupa posisinya di peta, kini menjadi kiblat pertanian bersih dan industri bernilai tinggi.
Lalu, Indonesia di mana?Negeri zamrud khatulistiwa ini dianugerahi segalanya gunung, laut, hutan, tambang, tanah yang tak pernah lelah memberi. Namun, semua itu kini hanya menjadi cerita buku teks dan lagu anak-anak. Karena kita gagal mengelola rahmat, gagal menyusun strategi. Di negeri ini, kekayaan justru menjadi kutukan, bukan anugerah. “Negara besar tidak lahir dari kekayaan, tetapi dari keberanian dan strategi yang tepat,” tegas Ranny.
Amerika, Tiongkok, negara-negara Eropa semuanya memulai dari petani yang memegang cangkul. Mereka membangun lumbung, lalu mendirikan pabrik, lalu meluncurkan satelit. Mereka tidak pernah meninggalkan ladangnya. Mereka tidak pernah mencabut akarnya.
Indonesia pun sempat berada di jalur itu. Di bawah Bapak Presiden Soeharto, enam Repelita membentangkan jalan transisi dari negara agraris menuju industrialisasi. Namun, tepat saat kita hampir menjadi produsen, badai reformasi mengguncang negeri. Bukan hanya mengganti rezim, tetapi juga mengoyak arah pembangunan.“Dosa reformasi adalah membiarkan Indonesia menjadi pasar, bukan produsen,” kata Ranny, tajam.
Kini, utang negara membengkak hingga Rp9.000 triliun. Angka yang tak hanya menghantui generasi kini, tetapi mengancam masa depan anak cucu kita. Kita menggali tambang, tetapi asing yang menjual. Kita menanam, tetapi orang lain yang memetik. Kita jadi penonton di tanah sendiri.
Indonesia seharusnya menjadi macan Asia. Tetapi kita malah jadi alas kaki para raksasa ekonomi dunia. Namun kini, peluang kembali terbuka. Dengan bergabungnya Indonesia dalam aliansi BRICS, pintu menuju kemandirian dan kekuatan nasional kembali terbuka. Tetapi pintu itu tak akan bisa kita masuki jika kita masih dipimpin oleh orang-orang yang hanya mahir membaca naskah, tetapi tak bisa merancang masa depan.
“Kita sudah memiliki pemimpin bervisi besar dan jajaran yang ada di kabinetnya yang bukan hanya berbicara, tetapi bekerja. Bukan hanya bermimpi, tetapi mengeksekusi.” Transformasi Indonesia bukan sekadar wacana.Ini soal menyusun ulang DNA bangsa. Pertanian harus menjadi fondasi, industri harus menjadi tulang punggung, jasa keuangan menjadi roda, dan teknologi informasi menjadi otak yang mengendalikan semuanya. Hal ini yang dimaksud Bapak Presiden Prabowo Subianto.
“Negara kecil bisa kaya karena mereka tahu ke mana melangkah. Indonesia bisa lebih besar dari mereka jika kita tahu bagaimana berstrategi.” Sejarah tidak akan mencatat siapa yang paling kaya sumber daya, tetapi sejarah akan memuliakan siapa yang paling cerdas mengelola masa depan. Dan bangsa ini masih punya kesempatan. Tetapi waktu tidak akan menunggu. Tutup Ranny.
Penulis: A.S.W