Fahd A Rafiq: Bisnis Culas di Balik Kilau Layar Samsung, Ketika Korporasi Raksasa “Memeras” Konsumen

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Jeddah –  Di tengah gemerlap inovasi teknologi yang terus digembar-gemborkan, bayang-bayang praktik bisnis “culas” masih menghantui konsumen, bahkan dari raksasa global sekalipun. Isu “layar bermasalah” pada produk Samsung, yang kerap muncul dalam bentuk green line, garis hijau, atau cacat permanen lainnya, dan dugaan pemerasan terhadap konsumen dalam penanganannya, bukan sekadar keluhan teknis, Ini sudah menjadi perbincangan publik International, Ucap Fahd A Rafiq di Jeddah, Arab Saudi pada Senin, (2/6/2025).

Ketua Umum DPP BAPERA mengatakan, hal ini adalah cerminan kompleksitas kejahatan korporasi yang menyoroti kelemahan perlindungan konsumen dan impunitas pelaku usaha besar, yang jika ditinjau dari kacamata kriminologi, menunjukkan pola perilaku yang mengkhawatirkan dan sangat merugikan. Senyap tapi pasti, ungkapnya.

Bayangkan kasus layar bermasalah ini bukan hanya menimpa konsumen Indonesia saja bahkan konsumen luar negeri mengeluhkan hal yang sama. Dibalik kemilau layar Amoled dan Super Amoled pasti permasalahannya sama seperti yang saya kemukakan diatas, Terangnya.

Fenomena “Layar Bermasalah” dan Anggapan “Pemerasan”
Kasus layar cacat produksi pada perangkat Samsung bukanlah hal baru. Sejak beberapa tahun terakhir, berbagai model smartphone Samsung, terutama yang menggunakan panel Super AMOLED, dilaporkan mengalami cacat seperti green line (layar menguning kehijauan), garis hijau vertikal, atau burn-in (bayangan permanen). Keluhan ini seringkali muncul setelah pemakaian jangka waktu tertentu, bahkan kadang setelah update software yang diduga menjadi pemicu atau mempercepat kerusakan.

Lebih jauh Mantan Ketum PP- AMPG ini memaparkan walaupun ponsel ini untuk kelas atas yang tidak mempermasalahkan harga tapi seiring berjalannya waktu konsumen akan merasa dirugikan akan masalah klasik ini. Dan hanya orang tertentu yang diperbolehkan mendapat garansi dan harus membayar menggunakan proteksi asuransi khusus, sudah keluarkan uang Rp. 15 – 30 juta (khusus kelas flagship) plus bayar asuransi perbulan, cetusnya.

Jadi bayangkan ketika update software naik dari Android 13 ke 14 dan seterusnya pasti terjadi masalah yang saya sebutkan diatas. Masa iya ponsel seharga diatas 10 juta bahkan saat ini sudah diatas 20 juta setelah upgrade software ada masalah bergaris. Ini kecurangan dalam bisnis yang dibiarkan selama puluhan tahun.

Namun, persoalan tidak berhenti pada cacat produk semata. Anggapan “pemerasan” muncul ketika konsumen yang mengalami masalah ini dihadapkan pada skenario sulit di pusat layanan resmi. Mereka kerap diminta biaya perbaikan yang sangat tinggi, bahkan mendekati harga perangkat baru, dengan alasan “kerusakan non-garansi” akibat kelalaian pengguna atau “kerusakan fisik” yang tidak terbukti. Ini menciptakan dilema yakni membayar mahal untuk perbaikan atau membiarkan perangkat mereka tidak berfungsi maksimal, atau bahkan membeli perangkat baru lagi, tegas Mantan Ketum DPP KNPI ini.

Kacamata Kriminologi: Kejahatan Korporasi dan Victimisasi Konsumen

 

Dari perspektif kriminologi, fenomena ini dapat dianalisis sebagai bentuk kejahatan korporasi (corporate crime) atau kejahatan kerah putih (white-collar crime) yang dilakukan oleh entitas bisnis. Beberapa elemen kunci dapat diidentifikasi:

– Kejahatan Bisnis (Business Crime): Ini adalah kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan material melalui kegiatan dalam bidang usaha atau industri. Dalam kasus ini, keuntungan diperoleh tidak hanya dari penjualan produk cacat yang tidak diakui sebagai defect, tetapi juga dari biaya perbaikan yang mahal.

Mau bukti harga LCD Z Flip 4 ditahun 2024 seharga Rp. 4 juta dan saat ini turun di harga 3, 5 juta artinya harga seken ponsel tersebut setara harga LCD nya ditahun pergantian. Masa setiap naik upgrade bisa keluar garis, ini bukan masalah tapi permainan bisnis jahat.

– Motif Keuntungan (Profit Motive): Dorongan utama di balik praktik ini adalah maksimalisasi keuntungan. Mengakui cacat produk secara massal dan melakukan penarikan produk (recall) atau perbaikan gratis dalam skala besar akan menelan biaya triliunan rupiah. Dengan “membebankan” masalah kepada konsumen melalui biaya perbaikan yang tinggi, perusahaan dapat mengalihkan kerugian operasional dan meningkatkan profitabilitas jangka pendek.

– Victimisasi Terselubung (Hidden Victimization): Berbeda dengan kejahatan konvensional yang pelakunya jelas dan korbannya langsung terlihat, kejahatan korporasi seringkali memiliki mekanisme viktimisasi yang lebih halus dan tersebar. Ribuan, bahkan jutaan konsumen menjadi korban secara individual, namun dampak kerugian finansial masing-masing mungkin tidak signifikan untuk memicu gugatan kolektif yang besar. Hal ini membuat korban sulit bersatu dan melawan.

– Kurangnya Akuntabilitas (Lack of Accountability): Korporasi sebagai subjek hukum pidana masih memiliki celah dalam sistem hukum. Sulit untuk menuntut pertanggungjawaban individu di balik keputusan korporasi, sehingga seringkali hanya korporasi itu sendiri yang didenda, bukan orang-orang yang membuat keputusan. Ini menciptakan moral hazard, di mana individu dalam korporasi merasa aman dari konsekuensi personal atas keputusan yang merugikan publik demi keuntungan perusahaan.

– Impunitas dan Lemahnya Penegakan Hukum

Mengapa praktik ini “dibiarkan”? Ini terkait erat dengan lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi di Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Nomor 8 Tahun 1999 sebenarnya memberikan hak-hak jelas bagi konsumen, termasuk hak atas kompensasi, ganti rugi, dan penggantian apabila barang tidak sesuai jaminan. Pasal 62 UUPK bahkan mengatur pidana penjara dan denda bagi pelaku usaha yang melanggar. Namun, implementasi dan penegakannya di lapangan masih seringkali menghadapi tantangan seperti

– Asimetri Informasi dan Kekuatan

Konsumen awam seringkali tidak memiliki informasi yang cukup dan kekuatan tawar yang setara dengan korporasi raksasa.

– Proses Hukum yang Berbelit

Melalui jalur litigasi (pengadilan) atau non-litigasi BPSK – (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) seringkali memakan waktu, biaya, dan tenaga.

– Lobi Korporasi

Perusahaan besar memiliki sumber daya dan pengaruh untuk melobi atau bahkan menghindari sanksi hukum yang berat.

– Teori Anomie dan Strain

Dalam konteks yang lebih luas, anomie (ketidakjelasan norma) atau strain (tekanan) juga dapat dilihat. Tekanan untuk terus berinovasi dan mencapai target keuntungan yang ambisius di pasar global yang sangat kompetitif bisa mendorong korporasi untuk memangkas biaya produksi, termasuk kualitas komponen, atau mengambil langkah-langkah yang merugikan konsumen demi mempertahankan pangsa pasar dan profit.

-Dampak Sosial dan Solusi Kriminologis

Dampak dari praktik semacam ini tidak hanya kerugian finansial individu, tetapi juga erosi kepercayaan publik terhadap korporasi dan institusi penegak hukum. Konsumen menjadi apatis, merasa tidak berdaya, dan semakin skeptis terhadap janji-janji perlindungan.Untuk mengatasi “bisnis culas” semacam ini, diperlukan pendekatan multidimensional dari sudut pandang kriminologi:

– Penguatan Regulasi dan Penegakan Hukum

UUPK perlu diperkuat dengan sanksi yang lebih berat dan mekanisme penegakan yang lebih efektif, termasuk kemampuan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana individu dalam korporasi. Otoritas perlindungan konsumen seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) harus diberikan taring dan wewenang yang lebih besar.

– Edukasi Konsumen

Konsumen harus terus diedukasi mengenai hak-hak mereka dan cara-cara untuk mengadvokasi diri. Kampanye kesadaran akan pentingnya mendokumentasikan setiap keluhan dan komunikasi dengan service center perlu digalakkan.

– Tekanan Publik dan Organisasi Masyarakat Sipil

Peran media massa dan organisasi masyarakat sipil dalam menyuarakan keluhan konsumen dan mengadvokasi perubahan kebijakan sangat krusial. Tekanan publik dapat memaksa korporasi untuk lebih bertanggung jawab.

– Standar Kualitas dan Sertifikasi Independen

Perlu ada standar kualitas produk yang lebih ketat dan mekanisme sertifikasi independen yang dapat menguji ketahanan produk dan mengidentifikasi defect tersembunyi.

– Pengembangan Litigasi Kolektif (Class Action)

Mendorong dan mempermudah gugatan class action oleh konsumen yang mengalami kerugian serupa dapat menjadi alat ampuh untuk memaksa korporasi bertanggung jawab atas praktik-praktik merugikan skala besar.

Lebih dalam mantan Ketum GEMA MKGR melihat Kasus layar bermasalah Samsung adalah contoh nyata bagaimana praktik bisnis yang mengedepankan profit di atas etika dan tanggung jawab sosial dapat merugikan jutaan konsumen. Dengan pendekatan kriminologis, kita dapat melihat bahwa ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan masalah kejahatan korporasi yang sistemik, menuntut respons hukum dan sosial yang lebih tegas untuk melindungi hak-hak konsumen dan memastikan keadilan.
Tanpa penegakan hukum yang tegas dan kesadaran kolektif, praktik bisnis “culas” ini akan terus merajalela, mengikis kepercayaan dan merugikan masyarakat.

Fahd melihat ketika sebuah ponsel naik upgrade ke versi lebih tinggi maka kualitas kamera dan mesin akan berkurang beda saat baru launching semua tampak sempurna. nanti victimnya yang disalahkan adalah konsumen. Ponsel dengan harga 15 – 30 juta di Indonesia tidak semua kalangan bisa membeli. Berbagai kritik dari forum forum gadget pun mengeluhkan hal yang sama.Bahkan kompetitornya Samsung berani memberikan garansi layar seumur hidup, Terangnya.

Jika ini dibiarkan dan kita semua tidak teliti maka Samsung telah melakukan Penjajahan dibidang teknologi, tujuannya untuk mengeruk keuntungan konsumen dari Indonesia dan global. Jika tiap tahun harus ganti lcd karena kesalahan yang dibuat korporasi Ini adalah definisi penjajahan dalam bidang teknologi yang dilakukan Korea Selatan atas Indonesia, tutup dosen yang mengajar di negeri Jiran Malaysia ini.

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita