Jakarta – Ada sebuah negeri yang dipuja karena keindahan alamnya, dipuji karena toleransinya, tetapi diam-diam sedang membusuk di dalam pikirannya yang tumpul, nalar publiknya terbungkam oleh kehebohan viral, dan daya ciptanya dikorbankan demi tepuk tangan digital. Negeri itu bernama Indonesia, ucap Fahd El Fouz A Rafiq di Jakarta pada Rabu, (2/6/2025).
Ketum DPP BAPERA mengatakan, “Ini bukan dongeng pesimis. Ini potret yang terlalu nyata di mana setiap Menteri pendidikan datang membawa jargon, bukan strategi. Di mana sistem sekolah tak lagi mengajarkan berpikir, melainkan menghafal jawaban. Di mana seorang anak bisa viral karena joget, tapi tidak dikenal saat menciptakan alat penyuling air dari energi matahari. Dan inilah kisah dua dunia yang tak sejajar. Indonesia yang kaya follower tapi miskin riset dan Iran, negeri terblokade, yang diam-diam melahirkan drone, rudal, dan ilmuwan, ungkapnya.
“Demokrasi kita bukan cacat di sistem, tapi rusak di pilihan. Karena kita memilih berdasarkan suara terbanyak, bukan pikiran terdalam.”Mantan Ketum PP – AMPG dalam pernyataannya melontarkan kritik tajam kita punya demokrasi, tapi elit politik dipilih karena popularitas kosong bukan karena kompetensi atau visi kebangsaan. Dampaknya konkret menteri sibuk memoles jargon, bukan menyusun cetak biru kecerdasan nasional. Anggaran riset hanya 0,25% dari PDB, bahkan kalah dari Iran yang mencapai 1%, meski di tengah embargo bertahun-tahun,
Fahd melihat lebih dalam, di negeri ini, estetika lebih penting daripada fungsi. Dana desa jadi simbol, bukan solusi.”
Alih-alih membangun ekosistem pertanian pintar, kita justru membangun Gapura bertuliskan ‘Selamat Datang’, seolah masa depan hanya butuh sambutan, bukan kemandirian pangan.
Indonesia tumbuh secara ekonomi, tapi hanya sebagai pasar. E-commerce kita melonjak, tapi isinya produk asing. Motor bertambah, tapi bukan karena kita menciptakan, hanya karena kita mengantar.
“PDB kita naik, tapi PDD (Produk Dalam Diri) kita kosong.”
Sementara itu Iran, dengan segala keterbatasannya, meluncurkan satelit buatan sendiri. Menciptakan drone tempur, rudal hipersonik, dan menghantam pusat teknologi militer Israel. Semua bukan hasil subsidi, tapi survival, bukan dari startup hiburan, tapi dari laboratorium sunyi.
Kita punya angkatan kerja muda terbesar, tapi tidak disiapkan untuk dunia yang kompleks. Kampus jadi tempat transkrip, bukan tempat transformasi. Mahasiswa teknik lebih sibuk jadi dropshipper Shopee daripada merakit alat pengukur cuaca berbasis IoT.
“Bonus demografi tanpa bonus logika hanya melahirkan angka pengangguran bergelar sarjana.”
Iran justru memacu STEM (Science, Technology, Engineering, Math) dan menjadikannya landasan kepercayaan diri bangsa. Indonesia masih menjadikan STEM sebagai mata pelajaran, bukan strategi peradaban, ungkap Mantan Ketum DPP KNPI ini.
Lebih dalam Suami dari anggota DPR RI ini melihat, “Di Iran, laboratorium adalah tempat suci. Di Indonesia, TikTok adalah kitab harian. ”Ketika filter lebih penting dari pada filsafat, dan algoritma lebih dipercaya dari pada argumen, maka hancurlah nalar kolektif. Indonesia lebih percaya hoaks daripada riset, lebih memuliakan popularitas daripada kebenaran.
Anak-anak kita mengenal efek IG lebih dalam dari pada efek Doppler. Mereka menghafal nama selebgram, tapi tak tahu nama ilmuwan Indonesia.
Teknologi di negeri ini bukan alat membangun martabat, melainkan hiburan massal. Sains bukan alat peradaban, tapi proyek kecil yang jarang diberi panggung. Politik bukan alat membangun bangsa, melainkan sinetron dengan skrip murahan.
“Ketika agama dijadikan alasan menolak KB, tapi dijadikan dalih untuk eksploitasi alam itulah ironi spiritualisme tanpa ilmu.”
Iran membuktikan, bahwa keterbatasan bukan alasan. Justru tekanan melahirkan inovasi. Mereka tak menari di TikTok, tapi membangun rudal yang membuat lawan segan. Indonesia? Tidak pernah diembargo. Tapi justru kehilangan arah dalam limpahan kebebasan.
“Indonesia tidak kekurangan anak cerdas. Yang habis adalah keberanian sistem untuk mempercayai mereka.”
Di sinilah letak luka terdalam kita sebagai bangsa. Kita punya otak, tapi sistemnya membentuk kita jadi konsumen, bukan pencipta. Kita punya potensi, tapi kehilangan visi. Jika arah ini tidak segera diubah, maka kelak sejarah akan mencatat
“Di abad ketika dunia melesat ke Mars, Indonesia masih sibuk berdebat siapa yang selingkuh di podcast.”, tutup Dosen yang mengajar di Negeri Jiran ini.