Jakarta – Hujan deras bukan hal baru bagi warga Jabodetabek. Tapi kali ini, air bukan hanya datang dari langit, ia datang membawa pertanyaan. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi kembali tenggelam dalam banjir. Data dari BNPB mengungkapkan kerugian fantastis Rp 1,69 triliun. Tapi di balik angka itu ada keraguan dan kecurigaan. Bencana alam atau skenario yang sengaja diciptakan?, Ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Jum’at, (25/5/2025).
Bekasi, Pusat Industri yang Terendam
Ketua Umum DPP BAPERA Mengatakan, “tak bisa dipungkiri, Bekasi menjadi episentrum kerusakan. Kabupaten Bekasi mencatat kerusakan senilai Rp 680 miliar, sementara Kota Bekasi menanggung kerugian tertinggi Rp 878,6 miliar, meski tanpa laporan kerusakan fisik. Ribuan rumah tergenang, pabrik-pabrik berhenti beroperasi. Ribuan pekerja menghadapi ancaman PHK. Kota industri ini seperti dipaksa berhenti berdetak, ungkap Fahd
Lebih Lanjut Mantan Ketum PP-AMPG ini menegaskan Padahal, Bekasi bukan sekadar kota satelit. Ia adalah denyut industri nasional. Ketika mesin-mesin pabrik di Cikarang berhenti berdengung, Indonesia ikut limbung. Maka wajar jika banyak yang bertanya mengapa Bekasi? Mengapa bukan kota lain? Apakah ini sekadar kebetulan, atau ada pola yang tidak luput dari perhatian?, tanya nya.
Kerugian yang Meneriakkan Ketimpangan
Fahd mengungkapkan, “Data BNPB merinci kerusakan terbesar dialami sektor perumahan Rp 1,3 triliun. Sektor infrastruktur mengalami kerusakan Rp 45,88 miliar dan kerugian akibat terganggunya akses mencapai Rp 110,1 miliar. Sektor ekonomi pun ikut terdampak, dengan nilai kerugian mencapai Rp 144,4 miliar, sementara sektor sosial terguncang hingga Rp 36,78 miliar. Bahkan, kerugian lintas sektor dampak terhadap tata kelola pemerintahan dan lingkungan menyentuh angka Rp 352 juta.
Bukan hanya angka, ini adalah potret rapuhnya sistem penanggulangan bencana. Dan mungkin, juga potret lemahnya kehendak politik untuk menyelesaikan akar masalah, ucapnya.
Efisiensi Anggaran dan ‘Kelaparan’ yang Terorganisir?
Awal tahun 2025, pemerintah mengumumkan efisiensi besar-besaran terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Proyek-proyek yang selama ini menjadi “ladang emas” mulai dihentikan. Pengadaan fiktif disikat, perjalanan dinas dibatasi, audit proyek banjir digencarkan. Tapi langkah ini rupanya tak hanya menimbulkan efisiensi ia juga menciptakan musuh dalam selimut, ungkap Mantan Ketum DPP KNPI ini.
Banyak pihak yang selama ini menikmati “kenyangnya” proyek, kini merasa “kelaparan.” Maka pertanyaan ini mencuat ke permukaan apakah banjir ini murni karena cuaca ekstrem, atau ada sabotase dalam sistem? Apakah ada yang sengaja membiarkan, atau bahkan memperparah, situasi? Ini pola lama lho, cetus Fahd.
PHK Massal dan Runtuhnya Kepercayaan
Pasca banjir, efek domino langsung terasa. Puluhan pabrik melaporkan kerusakan. Produksi dihentikan. Ribuan pekerja dirumahkan. PHK massal mengintai. Dan yang paling menakutkan kepercayaan publik mulai runtuh. Ketika rakyat kehilangan pekerjaan dan harapan, siapa yang mereka salahkan? Pemerintah. Dan siapa yang diuntungkan? Mereka yang ingin melihat negara ini gagal menata ulang keuangannya.
Siapa Dalangnya?
Sulit menunjuk langsung siapa dalangnya. Tapi benang merah mulai terlihat. Mereka yang dulu bisa “mengatur proyek” kini tak punya kuasa. Mereka yang terbiasa menghisap dari pengadaan fiktif kini terpinggirkan. Maka, apakah mungkin mereka menyusun ulang skenario? Menciptakan bencana untuk membuktikan ketidakmampuan pemerintah?, terang Fahd.
Investigasi Independen adalah Keharusan
Ini bukan waktu untuk sekadar menerima narasi resmi. Audit menyeluruh harus dilakukan. Proyek drainase yang mangkrak perlu dibuka ke publik. Peta aliran dana infrastruktur yang “tak selesai-selesai” harus dibongkar. Kita perlu tahu siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang bermain api di balik banjir?
Lebih dari Sekadar Air
Bekasi di bulan Maret memang sedang kebanjiran air. Tapi Indonesia mungkin sedang kebanjiran skenario. Di balik air yang menggenang, ada kemungkinan agenda-agenda tersembunyi yang sedang bergerak. Maka, sebagai warga negara, kita tidak boleh hanya pasrah. Kita harus waspada. Kita harus kritis.
Karena banjir kali ini bukan hanya tentang curah hujan. Bisa jadi, ini adalah alarm yang berbunyi keras. Dan jika kita terus menutup telinga, maka bukan hanya kota yang tenggelam tapi juga harapan dan masa depan bangsa Indonesia bisa tenggelam. tutup dosen yang mengajar di negeri jiran Malaysia ini.
Penulis: A.S.W