Fahd A Rafiq: Keadilan Absen, Teror Hadir di Potret Buram Republik yang Membiarkan Akar Radikalisme Menjalar

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

BAGIAN 1 

Selama akar kemiskinan, ketidakadilan, dan intoleransi masih tumbuh di tanah republik ini, maka teror akan selalu menemukan cara untuk hidup kembali.

Fahd A Rafiq

(Ketua Umum DPP BAPERA)

Jakarta — Dalam sunyi kemerdekaan yang dirayakan dengan gegap gempita kebebasan pasca Reformasi 1998, Indonesia menapaki jalan demokrasi dengan harapan yang menyala. Namun, seperti bayangan yang selalu mengikuti cahaya, dalam langkah-langkah penuh optimisme itu, suara dentum bom mulai menjadi simfoni gelap yang mengoyak tubuh republik. Terorisme bukan hanya sekadar ledakan dan darah, melainkan narasi kebencian yang lahir dari rahim ketimpangan, ideologi sesat, dan jiwa-jiwa yang tersesat dalam sunyi sejarahnya sendiri, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Sabtu, (28/6/2025).

Ketum DPP BAPERA mengatakan, “era reformasi membuka kran kebebasan yang sebelumnya terkunci dalam rezim represif Orde Baru. Rakyat bersorak, namun dalam lorong-lorong yang tak terlihat, lahir para ekstremis baru yang menjadikan demokrasi sebagai panggung penyebaran kekerasan. Mereka menyusup dalam celah-celah kebebasan, terang Fahd.

 

Lebih jauh Fahd menegaskan, mereka menyuarakan dendam dalam bahasa agama, menyebar teror atas nama surga, dan memanen maut dari tafsir-tafsir yang membatu. Konflik horizontal di Poso dan Ambon menjadi laboratorium awal lahirnya “jihad lokal”. Senjata diangkat bukan hanya untuk membela, tapi juga untuk menanamkan narasi kemenangan mutlak satu pihak atas lainnya. Ribuan nyawa melayang, bukan karena perang antar negara, tapi karena sejarah kolonialisme yang tak pernah disembuhkan dan dikawinkan dengan politik identitas serta fanatisme tanpa dasar, cetusnya.

 

Mantan Ketum PP – AMPG ini melanjutkan, dentuman bom mulai menggema di jantung kota dari Kedubes Filipina hingga Bursa Efek Jakarta, dari gereja-gereja malam Natal hingga kedai kopi internasional, ungkapnya.

 

Tahun 2002, Bali merupakan wajah Indonesia yang dikenal toleran dan penuh warna disayat dalam tragedi paling mematikan. Dua ratus dua nyawa melayang, sebagian besar adalah pelancong yang tak pernah tahu bahwa surga bisa berubah menjadi neraka dalam sekejap. Ini bukan sekadar serangan, tapi pernyataan bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari peta global jihadisme, terang Mantan Ketum DPP KNPI ini.

 

Suami dari Anggota DPR RI ini memberikan pertanyaan?, Mengapa sebuah bangsa yang dikenal ramah justru melahirkan pelaku kekerasan yang kejam? Untuk menjawab permasalahan ini dibutuhkan pemahaman berlapis. Dari ketimpangan sosial, kerapuhan sistem pendidikan, kemiskinan struktural, hingga identitas yang tercabik, terangnya.

 

Dalam studi The Spirit Level oleh Wilkinson dan Pickett, kesenjangan sosial adalah katalis radikalisasi. Ketika seseorang merasa tidak memiliki tempat dalam narasi nasional, maka ia mencari makna dalam narasi alternatif walaupun narasi itu menyesatkan, papar Mantan Ketum Gema MKGR ini.

 

Pola serangan pun berubah. Jika dulu targetnya simbol barat yakni hotel mewah dan kedutaan asing maka kini berubah menjadi aparat, tempat ibadah lintas iman, bahkan tokoh publik. Negara menjadi musuh, bukan karena kuasanya, tapi karena dianggap tak mengakomodasi “kebenaran mutlak” versi pelaku, cetus fahd dengan nada heran.

 

Fahd melanjutkan, “lalu hadir fenomena “lone wolf” individu yang bergerak sendiri, terinspirasi video dan doktrin radikal di internet. Mereka tidak lagi tergantung pada jaringan besar seperti Jemaah Islamiyah atau JAD. Cukup dengan ponsel, akun Telegram, dan kemarahan yang membusuk dalam jiwa, mereka siap meledakkan diri kadang bersama anak dan pasangan, seperti di Surabaya tahun 2018. Keluarga tak lagi sekadar unit kasih sayang, tapi telah menjadi alat kematian karena sistem yang telah menjajah mereka, terangnya.

Dimata Fahd Penjara pun bukan solusi akhir. Tragedi Mako Brimob menjadi bukti di sana, para narapidana teroris bukan direhabilitasi, tapi malah membangun solidaritas baru, menyusun skenario, dan mematangkan dendam. Negara tak hanya harus memenjarakan tubuh mereka, tapi juga membebaskan jiwa mereka dari kejumudan ideologi. Deradikalisasi bukan tentang membungkam, tapi membuka mata bahwa jihad bukan tentang membunuh, melainkan membangun.

 

Namun Indonesia tidak diam. Densus 88 bergerak dengan senyap, menumpas, menangkap, bahkan melumpuhkan. Tapi ini ibarat memotong rumput liar tanpa mencabut akarnya. Selama akar kemiskinan, ketidakadilan, dan intoleransi masih tumbuh di tanah republik ini, maka teror akan selalu menemukan cara untuk hidup kembali, tegas Fahd.

Fahd melihat, media sosial menjadi arena baru perang ini. Di sana, kebencian diretas menjadi meme. Bom bukan lagi dirakit di garasi, tapi di dalam algoritma. Setiap klik, setiap like pada narasi kebencian adalah sumbu yang menunggu api. Kita hidup di zaman di mana teror tak butuh pelatihan militer cukup dengan jaringan Wi-Fi dan rasa frustasi yang belum tertuntaskan, ungkapnya.

Jadi, Apa yang harus dilakukan bangsa ini?

Pertama, mendidik. Pendidikan kritis harus menjadi benteng pertama. Anak-anak bangsa harus dilatih untuk berpikir, bukan sekadar menghafal. Agar ketika ideologi menyesatkan datang menyamar sebagai kebenaran, mereka mampu membedakan mana langit dan mana jurang.

Kedua, merawat keadilan sosial. Negara harus hadir bukan sekadar sebagai pemadam kebakaran saat bom meledak, tapi sebagai arsitek keadilan yang mencegah bara radikalisme tumbuh sejak dini.

Ketiga, membangun narasi. Narasi alternatif yang penuh harapan, kasih, dan empati harus dikedepankan. Radikalisme tumbuh di ruang sunyi maka isi ruang itu dengan suara-suara cinta yang kritis dan cerdas.

 

Terakhir, kita sebagai warga tak boleh diam. Kita bukan penonton sejarah. Kita bagian dari medan perang ini, bukan dengan senjata, tapi dengan pikiran dan hati.

 

Di setiap keluarga, ruang kelas, rumah ibadah, dan media sosial perang ini sedang berlangsung. Dan mungkin, di balik ledakan-ledakan itu, ada satu pertanyaan eksistensial yang belum selesai dijawab bangsa ini. Apakah kita sebagai Indonesia dan untuk siapa negeri ini kita bangun? tanya Fahd.

Karena dalam setiap serpihan bom yang meledak, bukan hanya tubuh yang hancur tapi juga harapan, masa depan, dan nama baik NKRI yang harus kita jaga bersama, tutup dosen yang mengajar di negeri Jiran ini.

Kemiskinan itu membisikkan kebencian, ketika republik ini tak lagi merangkul semua anak bangsanya. Maka teror akan tumbuh di tengah ketimpangan.

 

Ketika rakyat yang tersisih memilih jalan gelap maka luka sosial yang meledak dari ketidakadilan struktural menuju Bom bunuh diri.

 

Negeri ini dikatakatan gagal mengasuh, Ketika Ketidakadilan dan Kemiskinan Menyulut Api Radikalisme.

 

Ingat BOM tak tumbuh dari tanah kosong, Ia disirami oleh ketimpangan dan dibiarkan subur oleh diamnya negara.Dari ketidakadilan menuju kekerasan. Ketika demokrasi tak menyentuh perut dan harga diri rakyat

Keadilan yang absen, teror yang hadir adalah potret buram republik ini yang Membiarkan Akar Radikalisme Menjalar. Pemerintah Segera Sejahterakan Rakyat  Kecil.

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita