Bagian II
Jakarta — Di negeri yang setiap jengkal tanahnya dipenuhi doa-doa para pendiri bangsa, suara bom tak hanya menggetarkan kaca-kaca gedung, tapi juga mengguncang nalar kita sebagai bangsa.
Setiap ledakan bukan hanya serpihan logam dan mesiu yang berserakan, tapi juga pecahan dari tubuh sosial yang retak pelan-pelan tak terlihat, tapi mematikan, Ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Minggu, (29/6/2025).
Ketum DPP BAPERA mengatakan, “Indonesia, negeri dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, seolah perlahan kehilangan makna dari kata “tunggal”. Ketika satu anak bangsa mengangkat senjata terhadap bangsanya sendiri, kita tidak hanya kehilangan nyawa tapi kehilangan arah sebagai negara yang sepakat untuk bersatu”, cetusnya.
Fahd melihat, “seringkali kita bertanya mengapa seseorang yang pernah bermain bola di gang sempit, beribadah bersama kita di mushola, atau duduk di bangku sekolah dasar yang sama, tiba-tiba berubah menjadi pelaku bom bunuh diri?, apa yang salah? Tanya Fahd. Yang pasti jawabannya tidak pernah tunggal. Ia bukan cerita hitam-putih. Ia adalah anyaman rumit dari luka sosial, kekosongan makna, dan hasrat untuk merasa berarti, paparnya.
Terorisme lahir berawal dari rahim ketidakadilan, walaupun ini salah satu faktor ya! dari aspirasi politik yang dibungkam, dari rasa gagal menjadi manusia bermartabat, hingga dari identitas yang tertolak oleh sistem. Banyak pelaku sebelumnya adalah korban. Mereka gagal menemukan tempat dalam struktur sosial yang terlalu sempit untuk mengakomodasi yang “berbeda”, terang
Mantan Ketum DPP KNPI ini menjelaskan, “seperti kata Wilkinson dan Pickett dalam The Spirit Level, ketimpangan sosial tidak hanya melahirkan kemiskinan, tapi juga kekacauan makna. Dalam masyarakat yang timpang, martabat manusia ditentukan oleh harta, bukan harga dirinya. Dan dalam kekosongan itu muncul kelompok-kelompok yang menawarkan makna meski sesat, mereka memberi rasa memiliki dan ikatan persaudaraan yang kuat karena senasib, terangnya.
Di balik aksi ekstrem, seringkali ada narasi sederhana seperti gagal bayar KPR, dihina karena miskin, dikeluarkan dari kampus karena tak sanggup bayar UKT, atau melihat orang tuanya mati tanpa mampu menolong karena tak punya BPJS aktif, ini realita dan fakta yang terjadi di Indonesia saat ini, tegas Fahd.
Fahri misalnya (bukan nama sebenarnya), dulunya petugas keamanan. Setelah PHK dan gagal bayar cicilan rumah subsidi, ia ditinggal istri dan dijauhi keluarga. Dalam rasa hancur itu ia menemukan komunitas daring yang menawarkan “jalan jihad” sebagai pelarian dari keterasingan. Ia tidak ingin mati, tapi ia lebih takut hidup tanpa harga diri, terang Suami dari Anggota DPR RI ini.
Di gang-gang sempit, di forum Telegram yang sunyi, dan di ruang-ruang komunitas yang tertutup, para perekrut memanfaatkan celah dalam jiwa yang tak utuh. Mereka datang bukan dengan senjata, tapi dengan kata-kata yang menenangkan dan ideologi yang memberi arah walaupun itu menyesatkan.
Lebih jauh lagi Fahd melihat, narasi jihad, surga, dan bidadari bukan sekadar propaganda, tapi cara menggantikan perasaan gagal dan terasing dengan sensasi pahlawan. Sebuah transformasi eksistensial dari “manusia gagal” menjadi “syuhada pembela agama”, imbuhnya.
Saat pemerintah terus kehilangan kepercayaan, figur anonim seperti Bjorka menjadi simbol perlawanan zaman baru. Ia tidak menanam bom, tapi menanam keraguan dan membuka luka. Ia menunjukkan bahwa musuh dalam negeri bukanlah rakyat, tapi sistem yang terlalu nyaman menutup telinga.
Bjorka mewakili suara-suara yang tak pernah didengar. Ia hadir bukan dari luar sistem, tapi dari mereka yang dikeluarkan dari sistem. Dan justru karena itu, resonansi aksinya meluas bukan hanya sebagai kriminal siber, tapi sebagai ikon kekecewaan publik, papar Fahd.
Kita sering bertanya siapa pelaku, tapi jarang bertanya apa yang membuat mereka menjadi pelaku. Kita cepat mengutuk, lambat menganalisis. Kita membangun penjara, tapi lupa membangun harapan.
Negara hadir dengan Densus dan UU Terorisme, tapi lupa hadir dalam bentuk pendidikan kritis, lapangan kerja yang adil, dan jaminan martabat untuk rakyat kecil, tegas Fahd.
Selama ketidakadilan struktural menjadi hal yang biasa, dan identitas hanya diakui kalau seragam, maka akan selalu ada ruang bagi radikalisme untuk tumbuh. Kita tidak bisa menumpas radikalisme jika kita terus memproduksi ketidakadilan, ungkap Mantan Ketum GEMA MKGR ini.
Suami dari anggota DPR RI menekankan kembali, Ini bukan hanya soal bom. Akan tetapi soal siapa yang merasa memiliki tanah ini, dan siapa yang merasa ditolak oleh tanah kelahirannya sendiri. Mereka yang meledakkan dirinya bukan hanya ingin membunuh, mereka ingin didengar, bahkan dalam kematian. Jika kita ingin perdamaian, kita harus mulai dari keadilan, terangnya.
Jika kita ingin mencegah teror, kita harus mulai dari mendengarkan. Dan jika kita ingin menyelamatkan Indonesia, kita harus menjawab pertanyaan yang paling sunyi. Apakah negeri ini rumah bagi semua, atau hanya bagi yang bisa membeli tempat di dalamnya?, tutup dosen yang mengajar di negeri Jiran ini.
Penulis: A.S.W