Jakarta — Hari Kartini kerap dirayakan secara simbolik dari kebaya dikenakan, kutipan-kutipan inspiratif dibagikan, dan sosok R.A. Kartini dielu-elukan sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Namun, bagi Ranny Fahd A Rafiq, seorang aktivis perempuan dan tokoh muda yang vokal dalam isu kesetaraan gender, semangat Kartini seharusnya dimaknai lebih dalam daripada sekadar seremoni tahunan, ucap Ranny di Jakarta pada Senin, (21/4/2025).
Anggota DPR RI Komisi IX ini mengatakan, “Banyak yang mengagungkan Kartini sebagai simbol, tetapi lupa pada gagasan radikal yang dia bawa.”. Bagi Ranny, Kartini bukan sekadar sosok lembut yang patuh pada adat. Ia adalah pejuang intelektual yang marah dan gelisah terhadap sistem yang menindas perempuan. Sosok revolusioner yang, dalam usia muda, sudah berani menantang feodalisme, patriarki, dan ketimpangan sosial yang saat itu dianggap sebagai keniscayaan,ungkapnya.
“Kartini tidak hanya memperjuangkan hak belajar. Ia ingin perempuan terbebas dari sistem yang memperlakukan mereka sebagai properti, sebagai objek, sebagai manusia kelas dua dalam rumah tangga dan masyarakat,” tegas Ranny.
Menurut istri Fahd A Rafiq ini, sistem feodal yang berlaku kala itu bukan sekadar soal larangan sekolah atau kawin paksa, tetapi juga bagaimana perempuan ditempatkan dalam posisi diam, tunduk, dan tak punya pilihan. Lewat surat-suratnya kepada sahabat-sahabat Belanda, Kartini menuangkan keresahan sekaligus perlawanan, paparnya.
“Bayangkan, di usianya yang masih sangat muda, Kartini sudah punya kesadaran tajam tentang ketidakadilan struktural. Ia bukan hanya korban dari sistem itu, tetapi juga kritikusnya,” lanjut Ranny.
Ia menyayangkan bagaimana narasi Kartini kerap direduksi sebatas pakaian adat dan acara sekolah. Padahal, kata Ranny, yang dilawan Kartini bukan hanya struktur keluarga, tetapi juga negara dan budaya yang mengekang kebebasan perempuan.
“Banyak yang terjebak pada romantisme Kartini sebagai perempuan Jawa yang halus dan patuh. Padahal, dia simbol perlawanan,” katanya. Menurutnya, “Kartini Masa Kini Harus Melampaui Simbolisme”. Ranny kembali menekankan bahwa perjuangan Kartini masih relevan hingga hari ini. Bentuk penindasan boleh saja berubah rupa, tak lagi berupa larangan belajar atau kawin paksa, namun akarnya tetap sama yakni sistem yang membungkam suara perempuan, tegasnya.
“Tantangan perempuan hari ini mungkin berbeda bentuk, tetapi substansinya masih sama. Ketimpangan dalam kepemimpinan, stereotip gender, kekerasan domestik, hingga bias kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan semua itu adalah medan juang yang masih harus kita lawan,” ujarnya.
Bagi Ranny, menjadi Kartini masa kini berarti memiliki keberanian untuk melawan. Bukan sekadar mengenang, tetapi meneruskan semangat. Bukan sekadar mengagumi, tetapi mengambil sikap.Karena, seperti kata Kartini: “Habis gelap, terbitlah terang.” Namun, Ranny menegaskan, terang itu tidak datang dengan sendirinya, ia harus diperjuangkan.
“Menjadi Kartini hari ini bukan soal kebaya atau kutipan. Ini soal bagaimana kita, para perempuan, mengambil ruang, bersuara, dan menciptakan perubahan nyata dalam masyarakat,” ujar Ranny.
Ia pun menekankan bahwa pendidikan dan kemandirian ekonomi adalah kunci dua pilar utama untuk membebaskan perempuan dari segala bentuk belenggu modern. “Jangan takut jadi berbeda. Jangan takut bersuara. Itu yang Kartini ajarkan,” pungkasnya dengan mata berbinar.
Di mata Ranny Fahd A Rafiq, Kartini bukanlah cerita masa lalu yang selesai dibaca. Ia adalah api yang harus dijaga, agar terus membakar semangat perempuan Indonesia untuk tidak sekadar hadir dalam sejarah, tetapi wanita modern ikut menulisnya, tutup Ranny.
Penulis: A.S.W