Menjaga Bara Nusantara yaitu berdiri di atas kaki sendiri dan menjadi bangsa yang tak bisa dibeli itulah jalan sunyi yang dipilih Presiden Prabowo Subianto. Sebuah ajakan senyap namun tegas, untuk menyalakan kembali api nasionalisme di dada setiap anak bangsa, tanpa kecuali.
Fahd El Fouz A Rafiq
(Ketua Umum DPP BAPERA)
Jakarta – Di tengah riuh kontestasi wacana global dan percaturan politik domestik, pidato Presiden Prabowo Subianto menandai sebuah titik kontemplatif dalam perjalanan Republik. Lebih dari sekadar pernyataan kenegaraan, pidato ini menyerupai gema dari lorong panjang sejarah, seruan dari jantung bangsa yang lama dilukai oleh adu domba, kolonialisme, dan kekacauan elite yang kehilangan arah, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (16/5/2025).
Ketua Umum DPP BAPERA mengatakan, “dengan suara bergetar antara kemarahan dan cinta, Prabowo seolah memanggil arwah para pendiri bangsa untuk kembali hadir meneguhkan arah perjuangan, paparnya.
Lebih lanjut Fahd menegaskan, “Prabowo tidak sedang berorasi sebagai seorang jenderal, melainkan sebagai pewaris luka sejarah yang belum sepenuhnya sembuh. Ia berbicara tentang perpecahan sebagai racun lama, warisan imperialisme yang mengakar bukan hanya dalam struktur kekuasaan, tetapi juga dalam sel-sel mentalitas kebangsaan dan bernegara, terangnya.
Lebih dalam Mantan Ketum DPP KNPI ini menjabarkan, “Ratusan tahun mereka datang,” katanya, dengan nada yang tak hanya historis, tapi juga eksistensial. Di balik kalimat itu, terpantul trauma kolektif dari Tanam Paksa hingga politik devide et impera. Apa yang dikatakannya tentang kekuatan asing bukan sekadar paranoia geopolitik. Ini adalah alarm epistemik bahwa Indonesia yang kerap jadi laboratorium demokrasi dan pasar bebas sering kali menjadi objek, bukan subjek dalam dialektika global, cetusnya.
Bapak Presiden Prabowo Subianto menyebut LSM, demokrasi, dan HAM sebagai “versi mereka”. Di sinilah letak kegelisahan yang dalam bahwa standar moral universal bisa dipakai sebagai topeng kepentingan imperialis baru yang lebih halus ekspansi melalui narasi, bukan meriam.
Dalam refleksi itu, Prabowo menempatkan Pancasila bukan sebagai simbol mati, melainkan sebagai api yang terus harus dijaga. “Pancasila bukan sekadar mantra,” katanya. Ini bukan kalimat biasa. Ini adalah tantangan filosofis, bahwa nilai bukan dogma, tetapi harus dialami, dipertahankan, dan dikobarkan. Fahd Kembali menegaskan bahwa ideologi hanya akan hidup bila pemimpinnya jujur, bukan sekadar fasih berbicara dan beretorika saja.
Di Negara negara maju mereka berlomba- lomba mensejahterakan rakyatnya, Indonesia bagaimana? Bisa di jawab sendiri! Kita saat ini masih berada di zona nyaman di post negara berkembang, sekali lagi butuh nyali besar merubah kondisi yang tidak baik baik saja, tegas Fahd.
Cermin bagi mereka yang lupa bahwa mandat adalah tanggung jawab, bukan hak istimewa. “Kalau tidak mampu, jangan masuk ke pemerintahan.” Di zaman ketika politik adalah karier, bukan pengabdian, kalimat ini menyayat banyak pihak. Pidato Prabowo tidak mengajak untuk membenci asing, tetapi untuk waspada dan merdeka dalam berpikir. Ia meminjam semangat Presiden Soekarno berdiri di atas kaki sendiri. Tetapi Prabowo tahu, berdiri bukan hanya soal ekonomi,
<span;>akan tetapi itu lebih ke karakter integritas dan keberanian.
Di tengah pidatonya, Prabowo mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak lupa pada jasa para pemimpin masa lalu. Sebuah pengakuan historis yang penting, karena terlalu sering kita terjebak pada kutukan, yakni menjadi generasi yang hanya mengutuk masa lalu tanpa belajar darinya. Di balik kekurangan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi ada jejak prestasi yang tak boleh dihapus, mencari kesalahan itu mudah tapi mengakui prestasi itu yang sulit.
Retorikanya bukan sekadar metafora kebangsaan. Ini adalah lanskap eksistensial bahwa bangsa, seperti manusia, bisa tersesat. Tapi tersesat bukanlah akhir, selama masih ada cahaya yang dipertahankan. Dalam setiap kalimat Prabowo, ada semacam pencarian akan esensi nasional: “Siapa kita?” “Apa yang kita jaga?” “Untuk siapa kita hidup sebagai berbangsa dan bernegara?
Harapan yang diusung Presiden Prabowo Subianto ini tidak utopis. Ia bicara tentang kekayaan yang luar biasa, tetapi juga kekacauan dalam pengelolaannya. Dalam bagian inilah Prabowo menyatakan tekadnya untuk “menertibkan semua itu”. Sebuah janji yang tidak ringan. Karena kekayaan Indonesia bukan hanya dalam bentuk tambang dan lahan, tapi juga dalam bentuk oligarki dan kebiasaan buruk yang telah mengakar dari generasi ke generasi
Isi Pidato Presiden adalah panggilan untuk sadar, bukan hanya bangkit. Karena bangkit tanpa kesadaran hanya akan berulang dalam siklus eksploitatif yang sama. Prabowo ingin Indonesia yang berdaulat bukan karena gemerlap pertumbuhan, tetapi karena kuat dalam nilai, karakter dan keberpihakan pada rakyat sendiri, ungkap Fahd.
Pengusaha muda ini membaca dengan kacamata historis, pidato ini adalah kelanjutan dari pidato-pidato besar sejarah. Pidato 1 Juni Soekarno, Pidato “We Shall Overcome” Martin Luther King, hingga “The Iron Curtain” Churchill. Semua pidato itu lahir dari krisis, dan justru dari krisis itulah, jiwa bangsa bisa dibentuk ulang, terang mantan Ketum PP -AMPG ini.
Di balik pidato ini ada pesan senyap, Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan kembali menjadi tanah jajahan dalam bentuk baru? Atau menjadi bangsa yang menolak tunduk, walau harus berjuang lebih lama sulit?
Prabowo tidak hanya mengajak rakyatnya untuk melangkah. Ia mengajak untuk berani berjalan sendiri. Di tengah dunia yang gemar menyeragamkan, ini adalah seruan untuk tetap menjadi diri sendiri. Seruan agar Bara Nusantara jangan padam. Agar Indonesia tidak hanya ada di peta, tapi juga tetap ada dalam hati, tutup dosen yang mengajar di Negeri Jiran ini.
Penulis: A.S.W