Bagian 4 (Penutup)
Jakarta – Dalam lanskap sosial yang terus bergejolak, keadilan sosial ibarat matahari yang seharusnya bersinar merata bagi semua, namun seringkali terhalang oleh awan ketimpangan. Seperti sungai yang mencari muaranya, perjuangan menuju kesetaraan mengalir melewati berbagai rintangan, terkadang terhalang oleh bendungan kekuasaan yang tak merata, ucap Ranny Fahd A Rafiq di Gedung DPR/MPR pada Senin, (24/3/2025).
Politikus partai golkar ini mengatakan lebih lanjut, “dalam panggung kehidupan, keadilan sosial ibarat timbangan emas yang diidamkan semua orang. Namun, dalam banyak kasus, timbangan itu tidak selalu berdiri tegak. Ia condong ke sisi yang lebih berat, di mana kekuasaan dan privilese menumpuk, meninggalkan mereka yang lemah dalam bayang-bayang ketidaksetaraan.
Istri dari Fahd A Rafiq ini terus menyuarakan Keadilan sosial dan sering diibaratkan sebagai cermin besar yang memantulkan kondisi sebuah bangsa. Namun, bagi banyak orang, cermin itu retak memantulkan gambaran yang tidak utuh dan penuh distorsi. Bagi mereka yang berada di puncak piramida ekonomi, cermin itu tampak jernih, memperlihatkan peluang, hak, dan kemudahan yang tersedia. Sementara bagi mereka yang berada di bawah, bayangan yang terlihat hanyalah ketimpangan, ketidakpastian, dan keterbatasan.
Keadilan sosial seperti bayangan di siang hari seharusnya selalu ada, tetapi terkadang menghilang ketika paling dibutuhkan. Ia menjanjikan keseimbangan, namun sering kali tampak hanya di permukaan, tanpa benar-benar menyentuh mereka yang berada di lapisan bawah.
Di jalanan, suara rakyat adalah ombak yang terus menggulung, menabrak karang kebijakan yang enggan berubah. Di ruang-ruang pengambilan keputusan, keadilan sering kali menjadi cahaya redup di ujung lorong, yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki peta dan kendali atas kunci-kuncinya.
Di jalanan kota yang ramai, keadilan sosial tampak seperti lampu lalu lintas yang rusak sebagian orang bisa melaju tanpa hambatan, sementara yang lain terpaksa berhenti terlalu lama tanpa alasan yang jelas. Di gang-gang sempit, ia menjelma pintu besi yang hanya terbuka bagi mereka yang memiliki kunci kekayaan atau hubungan kuat.
Dalam dunia kerja, keadilan sosial sering kali seperti meja makan besar, tetapi hanya sedikit kursi yang tersedia bagi mereka yang benar-benar membutuhkan. Sementara itu, di ruang-ruang kebijakan, ia bagaikan catur, di mana rakyat kecil hanya menjadi bidak yang mudah dikorbankan untuk kepentingan pemain utama.
keadilan sosial menyerupai tangga yang tidak sama panjang. Beberapa orang mendapatkan eskalator yang membawa mereka naik dengan cepat, sementara yang lain harus mendaki anak tangga curam dengan beban berat di pundak. Kesempatan yang seharusnya setara justru menjadi ilusi ketika diskriminasi, koneksi, dan kapital lebih berperan dibandingkan kompetensi.
Di sektor pendidikan, keadilan sosial dapat diasosiasikan dengan anak-anak yang berdiri di garis start lomba lari. Sebagian memulai di titik terdepan dengan akses sekolah berkualitas, fasilitas lengkap, dan dukungan orang tua. Sebagian lagi tertinggal jauh di belakang, berjuang keras hanya untuk mendapatkan hak belajar yang layak.
Keadilan sosial seperti jembatan yang berlubang. Beberapa orang dapat menyeberang dengan mudah, sementara yang lain harus melompati celah besar, dengan risiko terjatuh ke dalam jurang keterbatasan. Sekolah-sekolah mewah berdiri megah, sementara di sisi lain, banyak anak masih berjuang mendapatkan bangku dan buku yang layak.
Di ruang kebijakan,keadilan sosial tampak seperti jam yang berjalan dengan ritme berbeda. Bagi kelompok tertentu, waktu bergerak cepat dengan keputusan yang segera dieksekusi. Namun, bagi masyarakat kecil, jarum jam terasa diam di tempat, menunggu janji-janji yang tak kunjung ditepati.
Dalam kehidupan ekonomi, keadilan sosial seperti meja makan besar yang tidak semua orang bisa duduki. Hidangan melimpah tersedia bagi segelintir orang, sementara di sisi lain, banyak tangan tetap kosong, hanya menatap tanpa bisa menyentuh. Peluang kerja dan kesejahteraan seharusnya terbuka bagi semua, tetapi realitanya, hanya mereka yang memiliki akses dan koneksi yang bisa menikmatinya. Sistem koneksi dan family merajalela disetiap industri.
Dalam sistem hukum, keadilan sosial seperti hujan yang turun tak merata. Ia membasahi beberapa wilayah dengan berlimpah, tetapi meninggalkan banyak tempat dalam kekeringan. Hukuman dan perlakuan hukum tidak selalu sama bagi setiap orang ada yang mendapatkan perlindungan penuh, sementara yang lain harus berjuang melawan ketimpangan.
Kesimpulan
Meski demikian, sejarah telah membuktikan bahwa keadilan sosial bukan sesuatu yang mustahil. Layaknya mozaik yang tersusun dari kepingan-kepingan kecil, perubahan bisa terjadi ketika masyarakat bersatu dalam solidaritas. Jika setiap individu berperan dalam memperbaiki cermin yang retak, menyamakan garis start, dan meratakan tangga kesempatan, maka keadilan sosial bukan sekadar cita-cita, melainkan kenyataan yang bisa dinikmati oleh semua.
Jika keadilan sosial benar-benar telah mati, maka yang tersisa hanyalah nisan bertuliskan: “Di sini terbaring keadilan sosial, dibunuh oleh keserakahan, dimakamkan dalam diam, dan dilupakan oleh mereka yang seharusnya menjaganya.”
Namun, setiap makam menyimpan harapan. Barangkali, suatu hari nanti, ada tangan-tangan yang bersedia menggali kembali nisan itu dan menghidupkannya kembali. Sebelum tanah negeri ini benar-benar gersang oleh ketidakadilan.
Keadilan sosial bukanlah sekadar impian yang tergantung di langit senja, tetapi harus menjadi tanah tempat semua manusia bisa berpijak dengan kokoh. Setiap individu adalah akar yang menopang pohon besar peradaban, dan jika sebagian akar dibiarkan kering tanpa air kesejahteraan, maka pohon itu akan rapuh dan tumbang.
Sejarah telah membuktikan bahwa keadilan sosial bukan sesuatu yang mustahil. Layaknya mozaik yang tersusun dari kepingan-kepingan kecil, perubahan bisa terjadi ketika masyarakat bersatu dalam solidaritas. Jika setiap individu berperan dalam memperbaiki cermin yang retak, menyamakan garis start, dan meratakan tangga kesempatan, maka keadilan sosial bukan sekadar cita-cita, melainkan kenyataan yang bisa dinikmati oleh semua.
Namun, meskipun keadilan sosial masih seperti bayangan yang belum sempurna, bukan berarti ia tidak bisa diperjuangkan. Jika masyarakat bersatu, menutup celah jembatan yang berlubang, memperpanjang meja makan agar semua bisa duduk, dan memastikan hujan turun merata, maka keadilan sosial bisa benar-benar hadir bukan hanya sebagai simile, tetapi sebagai kenyataan bagi semua, tutup Ranny.
Penulis: ASW