Jakarta – Dalam riuh rendah hiruk-pikuk politik Senayan, ada satu suara yang tak sekadar lantang, tapi benar-benar menyimak ya, itu adalah suara Ranny Fahd A. Rafiq. Ia bukan hanya legislator biasa, ia adalah resonansi nurani rakyat yang menjelma menjadi denyut nadi parlemen.
Sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ranny menegaskan dirinya bukan sekadar pengisi bangku sidang, melainkan penyambung lidah rakyat yang sesungguhnya. “Saya ada di sini untuk mendengar. Kekuatan saya adalah mendengarkan keluh kesah masyarakat. Itulah yang akan saya bawa ke pusat kekuasaan,” tegas Ranny, matanya mantap, suaranya penuh keyakinan.
Ditempatkan di Komisi IX yang membidangi kesehatan, ketenagakerjaan, TKI, dan jaminan sosial. Ranny tidak membatasi dirinya hanya pada batasan sektoral. “Jika aspirasi rakyat datang dari luar bidang saya, tetap akan saya bawa. Karena suara rakyat tidak punya sekat, dan saya tidak akan membuat tembok antara saya dan mereka,” katanya penuh empati.
“The Power of Hearing”: Sebuah Manifesto Nurani
Ranny tak sekadar mendengar, ia menghidupkan makna mendengarkan. Dalam dunia politik yang kerap penuh debat dan ego, ia hadir membawa kekuatan sunyi yang memekakkan kekuatan mendengar.
Dalam pandangannya, “The Power of Hearing” bukan hanya kemampuan pasif menangkap suara, tapi tindakan aktif yang penuh perhatian, fokus, dan pemahaman mendalam. Mendengarkan, bagi Ranny, adalah bentuk komunikasi tertinggi di mana rakyat tidak hanya bicara, tetapi didengar dan dipahami.
“Ketika seseorang merasa didengarkan, saat itulah mereka merasa dihargai sebagai manusia seutuhnya. Dan dari situ, muncul kepercayaan, muncul harapan,” ujarnya, dengan nada suara seperti pelita yang menenangkan.
Menjadi Corong Aspirasi, Menjadi Telinga Negara
Ranny sadar betul bahwa menjadi anggota DPR bukanlah posisi elite yang terpisah dari rakyat, melainkan amanah agung yang berpijak pada penderitaan dan harapan banyak orang. Ia menjadikan filosofi jaminan sosial sebagai prinsip perjuangan yaitu melindungi yang lemah, menegakkan keadilan, dan memastikan setiap warga negara bisa hidup layak.
“Masalah rakyat itu beragam dari yang ringan seperti antrean di puskesmas, yang berat seperti PHK massal atau TKI yang terlantar di luar negeri. Semuanya butuh pendengar yang serius, bukan pendengar yang sekadar formalitas,” ungkapnya.
Mendengarkan Sebagai Aksi Politik Radikal
Mendengarkan, dalam tangan Ranny, bukan sikap pasif, tapi aksi politik radikal. Ia percaya, ketika politik dibangun di atas dialog yang sungguh-sungguh, maka pemerintahan tidak hanya berjalan sesuai UUD 1945, tapi juga sesuai hati nurani bangsa.
Dengan mendengarkan secara aktif, ia membangun jembatan yang kokoh antara rakyat dan kebijakan. Setiap suara dari desa-desa terpencil, dari buruh yang lelah, dari ibu-ibu yang resah, disulap menjadi data, argumen, dan tekanan politik di ruang-ruang legislatif.
Mendengar Itu Menyembuhkan
Dalam banyak kesempatan, Ranny menuturkan bahwa telinga yang terbuka bisa menjadi pelipur lara. “Banyak yang datang bukan untuk diberi solusi cepat. Mereka hanya ingin didengarkan. Dan ketika itu terjadi, separuh beban mereka seolah hilang,” ucapnya pelan, seolah mengenang satu demi satu pertemuan dengan rakyatnya.
Analisa Figur Legislator Masa Depan
Di tengah wajah DPR yang kerap dikritik publik karena minim empati, Ranny muncul sebagai oase sebuah contoh legislator masa depan tidak sekadar pintar bicara, tapi juga lihai mendengar. Ia menolak logika politik elitis dan menggantikannya dengan logika humanis partisipatif.
Secara strategis, kekuatan mendengar ini memperkuat legitimasi politiknya. Rakyat merasa dekat, merasa dimiliki, dan merasa punya tempat di tengah kekuasaan. Jika pola ini direplikasi secara nasional, bisa menjadi reformasi kultural dalam praktik politik kita yakni dari politik pidato menjadi politik mendengar.
Penutup: Dari Telinga Menuju Tindakan
Ranny Fahd A. Rafiq menunjukkan bahwa politik yang paling tulus lahir dari kesediaan untuk benar-benar mendengar. Di tengah bisingnya janji kampanye dan debat parlemen, ia hadir sebagai telinga yang mendengarkan, hati yang memahami, dan tangan yang bekerja.
Dan pada akhirnya, bukan hanya gedung DPR yang menjadi saksi tugasnya, tapi setiap suara rakyat yang tak dibiarkan tenggelam. suara-suara yang kini bergema lewat dirinya, hingga ke pusat kekuasaan.
Penulis: A.S.W