Jakarta – Fahd A Rafiq, Ketua Umum DPP BAPERA sekaligus pengusaha muda, sebagai representasi dari ribuan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pengusaha swasta yang merasa semakin terpinggirkan oleh kebijakan negara, jujur saya sangat konsen dengan bidang ekonomi khususnya bidang bisnis dan usaha, ungkapnya.
Ketua Umum DPP Bapera mengatakan, “Suara ini bukan sekadar keluhan,” ujarnya, tapi jeritan sunyi mereka yang selama ini menopang ekonomi.” Dari ribuan percakapan yang diserapnya di lapangan, Fahd merangkum tiga kalimat kunci: Bangun Tanpa Untung, Bayar Tanpa Henti ironi APBN Kita, Di Tengah Pajak dan Pungli, Swasta Bertahan Tanpa Negara, dan Saat BUMN Jadi Raja, Swasta Hanya Jadi Penonton. Ini bukan lagi suara dari serikat buruh dan mahasiswa, melainkan jeritan kalangan wirausahawan. “, ungkap Fahd.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurut Fahd, ibarat arena tarik-menarik dua kutub yaitu pendapatan dan belanja. Namun, dominasi belanja rutin dalam struktur APBN menjadi ironi tersendiri. “Lebih dari 80% anggaran negara hanya untuk membayar utang, subsidi, dan gaji pegawai negeri,” jelas Fahd yang juga mantan Ketua Umum PP-AMPG. Dana pembangunan? Kurang dari 20%. Itu pun banyak yang bukan produktif. Negara hanya membelanjakan, bukan menumbuhkan.”, tegas Fahd.
Yang paling menyedihkan, lanjut Fahd, adalah ketika pelaku usaha yang justru menyumbang porsi terbesar terhadap pendapatan negara dibiarkan tanpa perlindungan. Ia menyebut bahwa UKM dan swasta menyumbang 80% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), namun mereka justru yang paling terbebani.
“Swasta dibebani pajak tinggi, tapi tak diberi kemudahan,” ucap Fahd yang pernah memimpin organisasi kepemudaan besar di negeri ini. “Bahkan akses ke permodalan pun sering dipersulit, keluhnya.
Sementara itu, struktur pendapatan negara menunjukkan ketergantungan besar terhadap pajak. Data 2024 mencatat bahwa 80% pendapatan negara berasal dari pajak. Sisanya, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), hanya sebesar Rp 580 triliun. Dari jumlah itu, sektor sumber daya alam menyumbang Rp235,6 triliun, dan dividen BUMN tak pernah menyentuh angka lebih dari Rp200 triliun.
“Pertanyaannya, untuk apa negara terus memanjakan BUMN kalau kontribusinya minim! ” sindir Fahd.
Fahd menilai perlakuan istimewa terhadap BUMN sudah tidak masuk akal. BUMN tetap mendapat fasilitas dan proteksi negara, padahal justru menjadi pesaing langsung pengusaha swasta di banyak sektor.
“Bayangkan, kami swasta ini harus bersaing dengan perusahaan pelat merah yang didukung negara. Tentu kami kalah,” kata Fahd, yang dikenal aktif memperjuangkan isu ekonomi kerakyatan sejak muda.
Yang lebih ironis, menurut Fahd, proyek-proyek BUMN justru acap kali tidak efisien. Ia menyebut, “Kalau. swasta bisa bangun proyek 500 miliar, BUMN bangun proyek sama bisa sampai 1 triliun. Bahkan lebih, ungkapnya. Lalu siapa yang menanggung kerugiannya? Pemerintahan berikutnya.” Bagi Fahd, inilah bentuk nyata dari inefisiensi sistemik yang harus dibongkar, paparnya.
Di berbagai kesempatan, Fahd menegaskan bahwa negara seharusnya bukan menjadi kompetitor pengusaha, tetapi mitra yang melindungi. “Kalau negara terus membiarkan pasar dimonopoli oleh BUMN, jangan heran kalau pengusaha kecil makin tersisih,” katanya. Ia menyebut, sudah waktunya ada perubahan kebijakan besar yang bukan kosmetik, tapi struktural.
Fahd meyakini, jika negara berani membersihkan pungli, memberi akses modal murah, melindungi pelaku usaha, dan menghentikan rivalitas tak sehat dari BUMN, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa melonjak drastis. “Bukan hanya 8 persen per tahun, tapi tiga kali lipat dalam beberapa tahun,” tegasnya.
“Selama ini, pelaku usaha telah membangun negeri tanpa sorotan kamera, tanpa anggaran negara, dan tanpa pamrih,” ujar Fahd, yang juga dikenal sebagai tokoh penggerak ekonomi generasi muda. “Kini giliran negara hadir, bukan sebagai pesaing, tapi sebagai pelindung.”
Suami dari Ranny (anggota DPR RI ) ini menyimpulkan: keberanian untuk membongkar ketimpangan dalam APBN dan mengembalikan keadilan fiskal adalah langkah pertama menuju reformasi ekonomi sejati yang berpihak bukan pada kekuasaan, tapi pada rakyat dan pengusaha yang selama ini diam-diam berjasa, tutup dosen yang mengajar di negeri Jiran ini.
Penulis: A.S.W