Jakarta — Kisah American Medical Association (AMA) bertransformasi dari organisasi pembela kualitas kesehatan menjadi penguasa industri medis, hal ini menarik perhatian Ranny Fahd A Rafiq, anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar. Baginya, ini bukan sekadar sejarah Amerika, tetapi studi kasus penting untuk memahami tantangan sistem kesehatan di Indonesia, ucapnya di Jakarta pada Kamis, (26/6/2025).
Anggota DPR RI komisi IX ini mengisahkan sejarah dan membayangkan Amerika Serikat pada 1840-an. Profesi dokter jauh dari kesan elit. Mereka lebih seperti tenaga medis darurat, pengetahuannya terbatas, kesembuhan pasien tak terjamin, dan menjadi dokter amat mudah dan murah. Paradoksnya melimpahnya dokter saat itu justru berbanding lurus dengan rendahnya kualitas pelayanan. Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah profesi ini masih mengedepankan kemanusiaan atau telah terjerat dalam logika bisnis semata? tanya Ranny.
Ranny Memaparkan, “dunia kedokteran saat itu bagai pasar bebas yang tak terkendali. Persaingan di antara dokter amat ketat, pendapatan tak menentu, dan kualitas pelayanan bervariasi, mengancam keselamatan pasien. Penggunaan obat-obatan yang berlebihan dan minimnya pengawasan menyebabkan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Krisis ini bukan sekadar masalah ekonomi, tetapi juga krisis etika dan martabat profesi, papar Ranny.
Di tengah kekacauan ini, muncul AMA di bawah kepemimpinan Nathan Smith Davis. Organisasi ini berupaya mereformasi sistem medis dengan strategi yang terlihat mulia, regulasi yang lebih ketat, pengurangan jumlah sekolah kedokteran dan peningkatan standar pendidikan. Namun, di balik niat baik tersebut, benih dominasi mulai terlihat. Apakah AMA benar-benar berjuang untuk pasien atau untuk kepentingan profesi mereka sendiri? Pertanyaan inilah yang perlu dikaji lebih dalam, kata Ranny.
Ranny masih melanjutkan kisahnya, laporan Flexner tahun 1910 yang mengkritik tajam sistem pendidikan kedokteran justru memperkuat posisi AMA. Reformasi pendidikan, penggunaan gelar residen, dan kontrol terhadap jumlah dokter semuanya memperkuat pengaruh AMA dalam industri medis.Singkatnya mereka berhasil membersihkan profesi, tetapi dengan harga yang mahal, terangnya.
Ranny kembali melanjufkan kisahnya. Kemudian AMA bertransformasi dari organisasi yang memperjuangkan kualitas menjadi penguasa industri medis. Banyak yang memuji peran mereka dalam menjaga standar dan melindungi masyarakat. Namun, tuduhan sebagai kartel yang memonopoli, mengendalikan harga, dan menciptakan kelangkaan dokter. Kompleksitas situasi ini perlu dipelajari secara cermat, tegas Ranny.
Aturan ketat AMA menyebabkan kekurangan dokter. Tragedi Kiara, yang meninggal karena keterlambatan penanganan medis, menunjukkan konsekuensi pahit dari kebijakan yang terlalu fokus pada kualitas tanpa mempertimbangkan akses pelayanan kesehatan. “Ini harus menjadi pelajaran berharga bagi kita di Indonesia,” ujar Ranny.
Apa yang bisa kita petik? kisah perjalanan AMA dari idealisme hingga penguasaan industri memberikan pelajaran berharga. Idealisme mudah ternodai oleh ambisi. Apakah AMA menyelamatkan profesi dokter? Atau justru menciptakan “monster” yang mengancam kesehatan masyarakat? Pertanyaan ini menantang kita untuk merenungkan peran organisasi profesi dalam membentuk masa depan pelayanan kesehatan. Apakah panggilan kemanusiaan masih bergema di tengah dominasi kekuasaan? Ranny berharap kisah AMA ini menjadi cermin bagi Indonesia agar tidak mengulangi kesalahan yang sama dalam mengembangkan sistem kesehatan nasional, tutup Istri dari Fahd A Rafiq ini.
Penulis: A.S.W