Jakarta– Jika dulu utang lekat pada citra elit politik dan pejabat yang hobi pelesiran atas nama dinas, kini tongkat estafet itu berpindah ke tangan generasi muda. Bukan untuk proyek, bukan untuk pembangunan, melainkan untuk gawai keluaran terbaru, kopi kekinian, dan outfitbergaya Korea. Ya, hutang kini tak lagi soal negara melainkan soal gaya, ucap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (14 /4/2025).
Ranny berceloteh, “Ada kalimat yang sedikit menyentil telinga kita semua: ‘Bukan hanya pejabatnya, tetapi generasi muda pun turut terlilit hutang.’ Pejabat cerminan rakyatnya, itulah kalimat yang pantas menggambarkan Indonesia saat ini. Negara harus membayar bunga hutang sebesar 3.500 triliun, jatuh tempo tahun 2025. Begitu juga generasi mudanya yang terlilit hutang. Ini tidak bisa dibiarkan terus-menerus,” tegasnya.
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar ini memaparkan, “Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juni 2024 bak sirene darurat yang terus meraung. Total utang individu melalui fintech lending membengkak hingga Rp61,52 triliun. Yang miris, Generasi Z dan milenial menjadi biang kerok terbesar penundaan pembayaran dengan menyumbang Rp30,59 triliun. Ini bukan angka di film fiksi ilmiah, ini realita yang terjadi di saku-saku anak muda,” ungkapnya.
Lebih lanjut Ranny menjelaskan, “Kelompok usia 19–34 tahun bahkan mencetak rekor tersendiri, yaitu Rp 729,62 miliar tunggakan pinjaman, diikuti kelompok 35–44 tahun sebesar Rp521,06 miliar. Seolah-olah, satu-satunya yang tumbuh subur di kalangan muda saat ini bukan kreativitas atau inovasi, melainkan jumlah rekening kredit yang mencapai ratusan ribu.”
Tak bisa dipungkiri, fenomena ini menjelma menjadi epidemi sosial. Pinjol bukan sekadar alat, melainkan candu. Syaratnya mudah, cukup KTP dan swafoto, dan dalam sekejap, dana langsung cair. Tak peduli digunakan untuk apa, seperti sepatu bermerek, konser, liburan, bahkan sekadar makan malam mewah demi eksistensi di Instagram.
Gaya hidup instan, validasi sosial, dan hasrat tampil sempurna di dunia maya telah menjelma menjadi monster tak kasat mata. Anak muda tak lagi mampu menunda kesenangan. Mereka rela menjual masa depan hanya demi terlihat “wah” di layar kaca 6 inci.
Dan yang paling mengenaskan? Ketika tagihan mulai menumpuk, solusi yang diambil bukan mencari penghasilan tambahan, melainkan menggali utang baru untuk menutup yang lama. Gali lubang tutup lubang menjadi gaya hidup, dan cicilan menjadi bagian dari pernapasan harian.
Mahasiswa pun tak luput. Biaya kuliah yang kian mencekik, ditambah tekanan sosial yang menggila, membuat banyak dari mereka lebih akrab dengan penagih utang daripada dosen pembimbing.
Jika tidak dihentikan, ini bukan sekadar krisis keuangan, ini krisis mentalitas. Kita bisa mencetak jutaan sarjana, tetapi tanpa literasi keuangan, mereka hanyalah lulusan dengan beban bunga yang menumpuk setiap bulan.
Regulasi pemerintah? Masih tertatih-tatih. Dunia pinjaman online lebih lincah daripada pengawasan. Maka, satu-satunya benteng terakhir adalah kesadaran diri. Seperti kata Ranny Fahd A Rafiq, “Bukan hanya negara yang bisa bangkrut karena utang, generasi muda pun bisa punah jika hidupnya hanya dibangun dari cicilan.” Bijaksanalah dalam menggunakan uang. Jangan biarkan “Generasi Emas” berubah menjadi “Generasi Minus Saldo.” Tutup Ranny.
Penulis: A.S.W