Jakarta – Dalam pusaran sejarah bangsa yang acapkali amnesia pada luka-lukanya sendiri, suara Ranny Fahd A Rafiq menggelegar bagai petir di langit siang bolong. Seperti api yang membakar jerami kering, pernyataannya tentang demo ojol 205 membangkitkan kesadaran yang nyaris padam bahwa para pejuang helm hijau itu yang mengaspal siang dan malam demi sesuap nasi dicabik-cabik oleh ketidakadilan sistemik, oleh tangan-tangan corporate yang berasal dari bangsa mereka sendiri, ucap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Rabu, (21/5/2025).
“Demo Ojol 205 adalah bukti bahwa kita bangsa ini mampu menindas saudara sendiri lebih bengis daripada kolonial mana pun dalam sejarah,” ujar Ranny dengan nada getir, dalam sebuah obrolan singkat yang lebih mirip ruang pengadilan nurani publik.
Anggota DPR Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, “tak sekadar bicara ia membuka luka. Demo besar – besaran di beberapa kota itu bukan sekadar perlawanan terhadap tarif semena-mena atau algoritma aplikasi yang lebih kejam dari cambuk kompeni, melainkan teriakan kolektif dari rakyat kecil yang dijejalkan ke pojok sistem digital tanpa perlindungan hukum. Mereka, para pengemudi ojek daring, disulap menjadi barisan ‘budak algoritma’ pekerja tanpa payung, pejuang tanpa pelindung, manusia tanpa harga, pemerasan terhadap keringat rakyat kecil, ini harus segera dicari win win solusi nya secepat cepatnya. Keserakahan menjadi penyebab masalah ini khususnya terkait moral dan etika.
Dalam sudut pandang tajamnya Istri dari Fahd A Rafiq menyebut para pengemudi ojol sebagai “garda depan republik yang tak pernah mendapat upacara bendera.” Mereka bukan sekadar pengantar makanan, mereka adalah simpul nadi urban yang menahan ambruknya ekonomi rakyat bawah. Namun, alih-alih diberi hormat, mereka diperlakukan bak pion catur di tangan korporasi multinasional yang tak kasat mata, tapi mengendalikan nasib mereka lebih kejam dari kolonialis Belanda, ini namanya penjajahan dan fiks kita belum merdeka dalam konteks ini, tegas Ranny.
“Kita tidak sedang dijajah bangsa asing, tapi dijajah oleh kebijakan yang tak berpihak oleh kebisuan negara terhadap jeritan pasukan jasa yang biasa disebut ojol,” tegas Ranny, memotong sunyi dengan suara yang tak bisa diabaikan.
Ranny menggambarkan kembali kondisi ini dengan tepat “Jika para ojol itu bisa bicara dengan air mata, aspal Jakarta akan tenggelam oleh duka yang tak kunjung diseka.”
Ranny, tak hanya melontarkan kritik, tapi juga menggugat arah pembangunan yang melupakan denyut rakyat kecil. Ia menuding langsung para pemegang kekuasaan dari “istana”, “kursi parlemen”, dan “ruang-ruang rapat ber-AC”yang terlalu sibuk meracik kebijakan berbasis grafik, bukan empati. Kita semua harus membuat kebijakan untuk kemakmuran rakyat, pertanyaannya rakyat yang mana? Jawabnya Rakyat kecil yang berbasis Fair berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, jelasnya.
Demo 205 yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional di monas patung Kuda Jakarta Pusat, bukan sekadar peristiwa ketidakadilan. Bagi Ranny, itu adalah epitaf (tulisan prasasti) untuk kemanusiaan yang sempat hilang di tengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi digital. Dan ketika sejarah itu diingatkan kembali, bukan untuk meratapi luka, tapi untuk membangkitkan kesadaran bahwa tak ada gunanya merdeka dari penjajah jika kita masih menindas saudara sebangsa sendiri. Sekali lagi Ranny mengingatkan hanya orang berilmu tinggi yang bisa berbuat adil.
Suara Ranny Fahd A Rafiq dari Gedung Parlemen bukan suara sumbang. Ia adalah genderang perang terhadap amnesia nasional. Ia mengingatkan bangsa yang besar bukan hanya yang mengangkat pahlawannya, tapi mereka yang tak pernah membiarkan rakyat kecil di injak-injak oleh roda zaman terutama ketika roda itu dikendalikan oleh bangsa sendiri.
Penulis: A.S.W