Home Sosial

Mampukah Kita Membangun Masyarakat yang Lebih Adil dan Setara?

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Ketika berbicara tentang keadilan dan kesetaraan, kita selalu dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah konsep ini benar-benar bisa diwujudkan, ataukah hanya sekadar jargon yang selalu digaungkan tetapi tak pernah benar-benar menjadi kenyataan? Di Indonesia, narasi tentang keadilan sosial sudah lama menjadi bagian dari diskursus politik dan sosial, bahkan termaktub dalam sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun, realitas di lapangan sering kali bertolak belakang dengan harapan tersebut.

Ketimpangan ekonomi semakin melebar, kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan dan kesehatan masih terjadi, serta hukum yang sering kali berpihak pada mereka yang memiliki kuasa. Di tengah kondisi ini, apakah kita masih bisa optimis bahwa masyarakat yang lebih adil dan setara bukan sekadar mimpi? Atau justru kita harus realistis bahwa sistem yang ada tidak memungkinkan keadilan itu terjadi?

Tulisan ini akan mengupas lebih dalam tentang bagaimana ketimpangan masih menjadi tantangan utama di negeri ini, mengapa sistem yang ada masih gagal menciptakan keadilan sosial, serta sejauh mana peluang perubahan itu masih terbuka.

Ketimpangan yang Mendarah Daging dalam Struktur Sosial dan Ekonomi

Ketika berbicara tentang keadilan dan kesetaraan, banyak orang hanya melihatnya sebagai persoalan individu: siapa yang bekerja lebih keras, dialah yang akan sukses. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu. Ketimpangan yang terjadi bukan hanya akibat perbedaan usaha, melainkan karena struktur sosial dan ekonomi yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang.

Laporan dari Oxfam Indonesia menunjukkan bahwa pada tahun 2022, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh total kekayaan nasional. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa sumber daya yang ada tidak terdistribusi secara adil. Mereka yang lahir di keluarga kaya memiliki akses lebih mudah terhadap pendidikan berkualitas, kesehatan terbaik, serta jaringan yang memungkinkan mereka mendapatkan pekerjaan atau modal usaha dengan lebih mudah.

Sebaliknya, bagi mereka yang lahir di keluarga miskin, jalan menuju kehidupan yang lebih baik jauh lebih sulit. Pendidikan yang seharusnya menjadi alat mobilitas sosial justru sering kali memperkuat ketimpangan. Sekolah-sekolah dengan fasilitas terbaik sering kali hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar biaya mahal. Sementara itu, sekolah negeri di daerah terpencil masih berjuang dengan keterbatasan infrastruktur dan tenaga pengajar.

Di sektor kesehatan, cerita serupa juga terjadi. Rumah sakit terbaik berada di kota-kota besar dan sering kali terlalu mahal bagi masyarakat miskin. Sementara itu, fasilitas kesehatan di pedesaan dan daerah terpencil masih jauh dari standar yang layak. Akibatnya, angka kematian ibu dan anak di daerah-daerah dengan akses kesehatan terbatas masih tinggi, dan penyakit yang sebenarnya bisa dicegah menjadi masalah serius hanya karena minimnya fasilitas kesehatan yang memadai.

Ketimpangan Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas

Salah satu indikator utama dari ketidakadilan di sebuah negara adalah bagaimana hukum ditegakkan. Di Indonesia, hukum sering kali lebih berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik.

Kasus-kasus korupsi menjadi contoh nyata. Pejabat yang terbukti melakukan korupsi dengan nilai miliaran rupiah sering kali mendapatkan vonis ringan, bahkan beberapa di antaranya bisa mendapatkan remisi atau fasilitas khusus di dalam penjara. Sebaliknya, rakyat kecil yang melakukan pelanggaran hukum karena alasan bertahan hidup kerap kali dijatuhi hukuman berat.

Sebagai contoh, kasus seorang ibu di Banyuwangi yang dipenjara karena mencuri susu untuk anaknya sempat mengundang perhatian publik. Sementara itu, kasus korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah hanya berakhir dengan hukuman beberapa tahun penjara dan keringanan yang diberikan berkali-kali.

Fenomena ini memperkuat persepsi masyarakat bahwa hukum di Indonesia lebih menguntungkan mereka yang memiliki uang dan jaringan politik yang kuat. Ketidakadilan hukum ini menjadi salah satu faktor utama yang membuat banyak orang merasa pesimis bahwa masyarakat yang lebih adil benar-benar bisa terwujud.

Struktur Sosial yang Menjaga Status Quo

Selain sistem hukum dan ekonomi, struktur sosial yang masih kental dengan feodalisme dan nepotisme juga turut mempertahankan ketidakadilan.

Di dunia kerja, misalnya, banyak posisi strategis yang diisi bukan berdasarkan meritokrasi, tetapi karena hubungan keluarga atau kedekatan dengan pemegang kekuasaan. Akibatnya, mereka yang memiliki potensi tetapi tidak memiliki koneksi sering kali harus berjuang lebih keras hanya untuk mendapatkan kesempatan yang sama.

Budaya ini tidak hanya terjadi di sektor pemerintahan, tetapi juga di dunia usaha dan akademik. Banyak orang yang mendapatkan posisi bukan karena kompetensi mereka, tetapi karena faktor kedekatan dengan pemilik perusahaan atau pejabat tinggi.

Situasi ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan akan terus mempertahankan status quo, sementara mereka yang berada di luar lingkaran ini harus berjuang lebih keras hanya untuk bisa bertahan.

Mungkinkah Perubahan Terjadi?

Meski tantangan yang dihadapi sangat besar, bukan berarti perubahan mustahil terjadi. Sejarah menunjukkan bahwa perubahan sosial bisa terjadi ketika ada kesadaran kolektif dan gerakan nyata dari masyarakat.

Salah satu contoh nyata adalah semakin kuatnya gerakan sosial yang menuntut transparansi dan keadilan. Dengan berkembangnya teknologi dan media sosial, masyarakat kini memiliki alat untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan menekan agar sistem yang lebih adil bisa diwujudkan.

Selain itu, generasi muda memiliki peran besar dalam menciptakan perubahan. Dengan akses informasi yang lebih luas, mereka bisa menjadi agen perubahan yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan. Banyak inisiatif sosial yang mulai berkembang, mulai dari pendidikan gratis bagi anak-anak kurang mampu hingga kampanye anti-korupsi yang semakin masif.

Dari sisi kebijakan, meskipun masih jauh dari sempurna, ada beberapa langkah positif yang telah diambil, seperti peningkatan anggaran pendidikan, reformasi birokrasi, serta berbagai program bantuan sosial yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan.

Namun, semua ini tidak akan cukup jika hanya bergantung pada kebijakan pemerintah. Perubahan sejati hanya bisa terjadi jika ada tekanan dari masyarakat untuk menciptakan sistem yang lebih transparan dan berkeadilan.

Kesimpulan

Mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara di Indonesia memang bukan perkara mudah, tetapi bukan berarti mustahil.

Ketidakadilan yang ada saat ini bukan hanya sekadar konsekuensi dari usaha individu, tetapi juga merupakan hasil dari sistem yang tidak memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang. Jika kita ingin melihat perubahan, maka reformasi di berbagai sektor- hukum, ekonomi, pendidikan, dan budaya harus dilakukan secara menyeluruh.

Apakah membangun masyarakat yang lebih adil dan setara hanya mimpi? Tidak, selama kita tidak berhenti berjuang. Keadilan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, tetapi harus diperjuangkan oleh semua pihak.

Tantangan yang ada mungkin terasa berat, tetapi sejarah menunjukkan bahwa perubahan selalu dimulai dari mereka yang percaya bahwa dunia yang lebih baik bisa diwujudkan. Pertanyaannya sekarang, apakah kamu termasuk di antara mereka yang masih percaya?

Sumber : detik.com

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita