Jakarta – Mereka tak lahir dari rahim dosa, tapi dunia memperlakukan mereka seolah begitu. Anak-anak jalanan. generasi yang dibesarkan oleh aspal, disusui oleh debu, dan dipeluk dinginnya malam kota. Di mata negara, mereka transparan tak tercatat dalam statistik pembangunan, tak disebut dalam laporan capaian menteri, dan hanya menjadi bayang-bayang saat lampu merah menyala. Tapi mereka ada dan jumlahnya terus bertambah, Ungkap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (5/5/2025).
Anggota DPR RI Komisi IX memaparkan, “Menurut data BPS dan Kementerian Sosial, lebih dari 16.000 anak hidup di jalanan di kota-kota besar Indonesia, namun angka ini sebenarnya jauh lebih tinggi karena tak semua anak jalanan bisa dihitung, sebagian telah menyatu dengan trotoar, sebagian hilang dalam gelap lorong kota, ungkapnya.
Lebih lanjut anggota banggar DPR RI mengisahkan, “di tengah gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan mewah, anak-anak ini berkeliaran dengan perut kosong dan mata penuh kecurigaan. Mereka bukan bagian dari “bonus demografi” mereka adalah generasi yang dikhianati oleh sistem sejak lahir.
“Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara” terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,menegaskan tanggung jawab negara untuk memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan, Apakah pasal ini Sudah diamalkan dengan sungguh sungguh. Kata dipelihara itu seperti apa? Tanya Ranny.
Sementara itu, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05% pada 2024, siapa yang menikmati pertumbuhan itu? Ketimpangan sosial tetap nyata, dengan koefisien Gini Ratio berada di angka 0,388. bukti bahwa kekayaan hanya berputar di ruang tamu kaum elite, tak pernah menyentuh meja makan rakyat kecil, apakah pembiaran ini terus terjadi di depan mata kita semua?
Kemiskinan struktural tak lagi sekadar masalah ekonomi. ia adalah bentuk kejahatan yang dilembagakan. Ketika pendidikan menjadi barang mewah dan kesehatan menjadi transaksi, anak jalanan seperti dilempar ke dalam arus deras tanpa pelampung. Mereka dibebani hidup sebelum sempat bermimpi. Bagaimana mungkin negara berbicara tentang revolusi industri 4.0 sementara puluhan ribu anak tak tahu alfabet?
Istri dari Fahd A Rafiq ini menghimbau, “Negara harus cepat turun tangan bertindak menanggapi hal ini, sedekah yang dikeluarkan individu tidak bisa menyelesaikan masalah problematik ini, negara dalam tempo yang sesingkatnya harus turun langsung. strategi menyelesaikan masalah ini perlu di fokuskan.
Ironinya menggigit anggaran negara mengalir untuk proyek-proyek prestisius, dari ibu kota baru hingga sirkuit balap dunia, sementara anak-anak bangsa menjual tisu di lampu merah dengan harga yang lebih murah dari sebatang rokok pejabat. Pemerintah menutup mata, seakan kemiskinan adalah pilihan hidup, bukan hasil dari ketidakadilan kebijakan, ucap Ranny.
Dan ketika aparat Satpol PP menangkap anak jalanan demi “menertibkan kota”, kita menyaksikan bentuk penjajahan baru bukan oleh bangsa asing, tetapi oleh sistem yang mencintai estetika lebih dari manusia. Ini bukan solusi, ini penjajahan, tegasnya.
Anak-anak yang seharusnya dilindungi justru diburu. Mereka disebut mengganggu ketertiban, padahal mereka hanya mengemis sejumput pengakuan dari negara yang lupa bahwa mereka juga warga, bela Ranny.
Ini bukan soal belas kasihan, ini soal keadilan. Negara yang membiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa pendidikan, tanpa rumah, tanpa harapan bukan sedang membangun masa depan, tapi sedang menanam benih kehancuran, tegas Ranny.
Kemiskinan bukan kutukan, tapi konsekuensi. Dan anak jalanan bukan simbol kegagalan mereka sendiri. Mereka adalah cermin retak dari kebijakan yang timpang dan hati kekuasaan yang membatu. Selama negara lebih sibuk menjaga citra daripada membasuh luka, maka jalanan akan tetap menjadi rumah, sekolah, dan kuburan dini bagi anak-anak bangsa.
Jika kita membiarkan hal ini terus menerus terjadi, anak – anak jalanan bisa jatuh ketangan orang yang salah, dia bisa di didik menjadi monster baru seperti pencopet, begal, rampok dan didikan kejahatan lain yang menjadi bom waktu untuk keamanan dalam negeri karena negara telah tutup mata akan hal ini. Yang perlu digaris bawahi adalah Kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran dan kejahatan, ucap ranny dengan mata yang tajam.
Kita mungkin bisa memaklumi kelaparan, tapi tak seharusnya kita memaafkan pembiaran. Karena pada akhirnya, pertanyaan yang akan menghantui kita bukanlah seberapa banyak gedung yang kita bangun, tetapi seberapa banyak anak yang kita biarkan tumbuh tanpa cinta kepada bangsa dan negara, tutup Ranny.
Penulis: A.S.W