Fahd A Rafiq Ungkap Sejarah Persaingan Olimpiade di Era Perang Dingin 

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

 

 

 

 

Jakarta – Di tengah ketegangan global yang mencengkeram dunia pasca Perang Dunia II, Olimpiade menjelma menjadi arena unik bagi pertarungan ideologi antara dua kekuatan adidaya yakni Uni Soviet dan Amerika Serikat. Lebih dari sekadar kompetisi atletik, setiap medali yang diraih, rekor yang dipecahkan, menjadi simbol superioritas sistem masing-masing. Analisis mendalam terhadap partisipasi dan perolehan medali kedua negara selama periode ini mengungkapkan narasi yang jauh lebih kompleks daripada sekadar adu kekuatan fisik, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (19/5/2025).

 

 

 

Ketum DPP Bapera mengatakan, “Dominasi Bergeser bukan sekedar analisis perolehan medali saja. kita menelisik data perolehan medali. Sejak Uni Soviet pertama kali berpartisipasi dalam Olimpiade Helsinki 1952, sebuah pola menarik mulai terbentuk. Soviet, dengan pendekatan negara yang sangat mendukung pengembangan atletik dan fokus pada cabang olahraga tertentu, seringkali mendominasi perolehan medali secara keseluruhan, terutama pada Olimpiade Musim Panas. Cabang olahraga seperti senam, gulat, dan atletik menjadi lumbung medali bagi mereka, ungkap Fahd.

 

 

 

Di sisi lain, Amerika Serikat, dengan sistem yang lebih mengandalkan inisiatif individu dan dukungan dari universitas serta organisasi swasta, menunjukkan keunggulan di cabang olahraga seperti renang, bola basket, dan tinju, ujar Mantan Ketum PP – AMPG ini. Namun, secara agregat, Uni Soviet seringkali unggul dalam jumlah total medali, sebuah fakta yang tidak luput dari sorotan media dan dianggap sebagai indikator keberhasilan sistem komunis dalam mencetak “manusia-manusia super”, terangnya.

 

 

 

Hal ini Lebih dari sekadar angka dan implikasi ideologis. Namun, membaca persaingan ini hanya melalui lensa jumlah medali akan menyederhanakan kompleksitasnya. Bagi Uni Soviet, kemenangan di Olimpiade adalah pembuktian keunggulan ideologi komunis atas kapitalisme. Setiap medali emas menjadi propaganda yang ampuh, disiarkan ke seluruh dunia sebagai bukti bahwa sistem sosialis mampu menghasilkan individu-individu yang lebih kuat, lebih disiplin, dan lebih unggul.

 

 

 

Sebaliknya, bagi Amerika Serikat, kekalahan di panggung Olimpiade seringkali dianggap sebagai tamparan bagi citra negara adidaya. Meskipun tidak memiliki sistem sentralisasi olahraga seperti Soviet, Amerika Serikat tetap berinvestasi besar dalam pembinaan atlet dan menganggap Olimpiade sebagai ajang penting untuk menunjukkan keunggulan nilai-nilai individualisme dan kebebasan yang mereka anut.

 

 

 

Mantan Ketum Gema MKGR ini mengingatkan kembali akan drama di Balik Layar seperti boikot dan kontroversi. Persaingan ini tidak jarang diwarnai drama dan kontroversi di luar arena pertandingan. Boikot menjadi salah satu taktik yang digunakan kedua negara untuk menunjukkan ketidaksetujuan politik, ungkap Fahd yang suka akan Sejarah ini.

 

 

 

Suami dari Ranny (Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar) ini mengisahkan boikot Olimpiade Moskow 1980 oleh Amerika Serikat dan sekutunya, sebagai protes atas invasi Soviet ke Afghanistan, serta boikot balasan oleh Uni Soviet dan banyak negara Blok Timur pada Olimpiade Los Angeles 1984, adalah contoh nyata bagaimana politik merasuki ranah olahraga. Pertanyaannya? apakah aksi boikot akan terjadi pada Olimpiade 2028 di Amerika Serikat karena Tiongkok terus mendekati perolehan medali? Yang perlu dicatat adalah perolehan medali emas antara USA dan Tiongkok pada Olimpiade Paris 2024 adalah sama, ungkapnya.

 

 

Selain boikot, tuduhan doping dan praktik curang juga mewarnai persaingan pada gelaran olah raga terbesar ini. Keinginan untuk meraih kemenangan dengan segala cara demi membuktikan superioritas sistem, terkadang mendorong atlet dan ofisial untuk melanggar batas etika olahraga, terang Fahd.

 

 

 

Persaingan di panggung olah raga terbesar di planet bumi ini menjadi warisan abadi Lebih dan lebih dari sekadar kenangan, Mungkinkah Boikot akan terjadi Di Olimpiade California 2028? Tanya Fahd! Meskipun Perang Dingin telah usai dan Uni Soviet telah bubar, warisan persaingan sengit di Olimpiade antara kedua negara ini masih terasa. Olimpiade tidak lagi menjadi medan pertempuran ideologi yang eksplisit, namun semangat kompetisi dan keinginan untuk menjadi yang terbaik tetap membara.

 

 

Analisis persaingan era Perang Dingin memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana olahraga dapat menjadi cerminan dan bahkan alat dalam dinamika politik global. Data perolehan medali hanyalah sebagian kecil dari cerita yang jauh lebih besar, sebuah narasi tentang ambisi, ideologi, dan semangat juang manusia di tengah pusaran sejarah, tutup dosen yang mengajar di Negeri Jiran ini.

 

 

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita