BAGIAN III
Didiklah generasi muda dengan hati agar mereka tidak tumbuh menjadi penindas bagi bangsanya sendiri.
(IBU DEWI SARTIKA)
Jakarta – Dalam malam yang tak sepenuhnya gelap, di sudut-sudut kota dan desa teriakan trauma dan tangis kehilangan menggema tanpa tepuk tangan penyelamat. Indonesia kini menghadapi babak krusial krisis keamanan dalam negeri yang menelanjangi lubang-lubang rapuh dalam fondasi bangsa. Dari begal di tikungan jalan, pencurian di halaman rumah, penipuan berkedok teknologi, hingga pemerkosaan yang merenggut masa depan, kejahatan bukan hanya angka statistik, melainkan luka kolektif di tubuh sosial kita, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Selasa, (23/6/2025).
Ketum DPP BAPERA Mengatakan, “Siapa yang bersalah? Di mana aparat? Mengapa negeri yang katanya Pancasilais ini justru menjadi ladang subur bagi tindakan kriminal? Pertanyaan demi pertanyaan berkelindan dalam sunyi. Namun jawabannya bukanlah senjata semata, melainkan strategi menyeluruh yang menembus batas pendekatan sektoral. Dalam krisis ini, tidak cukup hanya menebas rumput kejahatan kita harus mencabut akar dari dalam tanahnya yang rusak, kata Fahd.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa eskalasi kejahatan justru mengganas di tengah digitalisasi, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan infrastruktur? Data Kemenko Polhukam mencatat lonjakan kejahatan konvensional sebesar 17% pada triwulan pertama 2025. Terutama di daerah urban padat penduduk, kriminalitas menjadi semacam “jalan keluar” dari kegagalan sosial, ketimpangan ekonomi, dan rapuhnya ikatan moralitas.
Dari sisi politik Mantan Ketum DPP KNPI ini melihat, absennya kemauan kuat untuk membangun sistem penanggulangan kejahatan nasional yang terintegrasi membuat pendekatan menjadi parsial, reaksioner, dan serba tambal sulam. Padahal keamanan dalam negeri adalah tanggung jawab utama negara kepada rakyatnya, bukan sekadar program pencitraan jelang pemilu, tegasnya.
Pendekatan sosial juga menjadi medan tempur yang sering dilupakan. Kejahatan lahir bukan dari ruang hampa, melainkan dari kekecewaan sosial yang membatu. Remaja tanpa akses pendidikan, keluarga tanpa pendampingan psikososial, serta masyarakat yang kehilangan orientasi moral adalah lahan basah bagi lahirnya pelaku kejahatan, ungkap Fahd.
Sektor pendidikan pun tidak luput dari koreksi. Kita mencetak generasi yang tahu rumus fisika, tetapi tidak tahu arti empati. Di ruang-ruang kelas, tidak diajarkan bagaimana mencintai sesama dan memelihara integritas. Pendidikan moral dan karakter harus lebih dari sekadar program formalitas ia harus menjadi napas kehidupan berbangsa, terang Suami dari Anggota DPR RI ini.
Sementara itu, teknologi informasi yang seharusnya menjadi alat kemajuan justru beralih rupa menjadi medan baru kejahatan. Penipuan daring meningkat drastis dengan korban lintas usia dan profesi. Dunia maya tanpa pagar moral ibarat kota tanpa lampu, tempat segala predator berkeliaran tanpa takut dosa.
Lantas bagaimana seharusnya solusi dibangun? Tidak cukup hanya memperbanyak patroli dan menambah jumlah CCTV. Dibutuhkan pendekatan ipoleksosbudhankam secara simultan dan berkeadilan. Ini bukan sekadar urusan polisi, tetapi lintas institusi dari parlemen hingga RT, dari militer hingga madrasah, papar Fahd.
Dari sisi ekonomi Fahd meilhat perlu ada insentif sosial yang mencegah masyarakat jatuh dalam keputusasaan. Program padat karya, lapangan kerja lokal, hingga pelatihan wirausaha harus menjadi benteng awal sebelum kriminalitas menjadi opsi terakhir yang logis bagi warga yang lapar, ungkapnya.
Secara politik, diperlukan kemauan nasional untuk membentuk Task Force keamanan terpadu yang tidak hanya merespons, tetapi mengantisipasi. Jangan lagi aparat datang setelah luka menganga. Negara harus hadir saat denyut ancaman baru mulai terasa, tegas Mantan Ketum Gema MKGR ini.
Fahd melihat dengan mata telanjang dalam aspek sosial, kebijakan restoratif harus diperluas. Penanganan kejahatan tidak hanya mengurung pelaku, tetapi juga merehabilitasi jiwa dan mental mereka agar bisa kembali sebagai manusia utuh, bukan monster yang lahir ulang dari penjara, usulnya.
Fahd melihat dari sisi budaya lokal yang dulu menjunjung nilai gotong royong dan pengawasan sosial kini harus dihidupkan kembali. Di masa lalu, satu dusun bisa menjaga satu anak, satu kampung bisa menertibkan satu pemuda. Kini, digitalisasi mengikis nilai komunal, menjadikan kita bangsa individualis yang acuh saat tetangga menangis, terang Fahd..
Sistem pendidikan perlu revolusi nilai. Pendidikan karakter harus berbasis praktik, bukan sekadar teori. Bukan hanya mengajarkan apa yang benar, tetapi membentuk pribadi yang enggan berbuat salah karena keyakinan moral yang tertanam kuat sejak dini.
Di ranah teknologi, perlu regulasi dan pengawasan digital yang lebih kuat. Platform media sosial harus bertanggung jawab atas algoritma yang membiarkan penipuan dan eksploitasi seksual tumbuh subur. Literasi digital masyarakat perlu ditingkatkan secara masif
Bagaimana dengan TNI dan BIN? Mereka perlu diberi ruang untuk mendeteksi dini potensi ancaman non-tradisional. Geopolitik modern bukan lagi soal rudal dan senjata, tetapi juga soal narasi, pengaruh, dan infiltrasi nilai yang bisa menggerogoti keamanan nasional dari dalam, terang Fahd.
Di lain Sisi Fahd melihat, “Geopolitik global juga ikut memberi warna. Kesenjangan ekonomi akibat globalisasi, ketergantungan pangan dan energi, serta migrasi lintas negara menjadi pemicu laten yang mengendap dalam pusaran kriminalitas. Indonesia tidak bisa netral dalam urusan moral global kita harus menjadi benteng nilai kemanusiaan di tengah arus destruktif dunia”, papar dosen ini.
Solusi besar ini tidak akan berarti jika rakyat masih memelihara apatisme dan ketidakpercayaan pada sistem. Maka perlu kejujuran publik, keterbukaan informasi, dan pemulihan kepercayaan rakyat kepada negara. Sebab keamanan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi amanah kolektif sebagai bangsa.
Krisis ini bukan akhir, melainkan panggilan zaman. Jika masa lalu pernah mencetak generasi yang melawan penjajah, maka kini kita harus mencetak generasi yang berani melawan gelap dalam dirinya dan sekitarnya. Sebab kejahatan modern di dalam negeri adalah penjajahan gaya baru yang menyerang dari dalam.
Fahd mengutip kalimat dari para Founding Fathers, penjajahan yang paling kejam adalah penjajahan yang dilakukan oleh bangsamu sendiri, karena ia membungkus penindasannya dengan dalih cinta tanah air. Merdeka itu hak segala bangsa tetapi menjaga kemerdekaan itu kewajiban kita semua. Jangan sampai kita di jajah oleh keserakahan dan keegoisan bangsa sendiri. Kemerdekaan adalah syarat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Jika kita gagal maka penjajah akan datang dari dalam tubuh bangsa sendiri.
Akhirnya, solusi terhadap krisis keamanan bukan hanya soal menegakkan hukum, tetapi tentang menegakkan kembali martabat manusia Indonesia. Ini bukan tugas satu kementerian, tapi misi sejarah yang memanggil kita semua. Sebab bangsa besar bukan hanya yang mampu menaklukkan dunia, tetapi yang bisa menciptakan rasa aman di rumah sendiri, tutup dosen yang mengajar di negeri jiran ini.
Penulis: A.S.W