BAGIAN I
Negeri tanpa takut tapi bukan karena aman, ketika hukum tak lagi sakral dan rakyat ditinggalkan dalam sunyi akhirnya kami mati dalam damai, tapi bukan damai yang kau janjikan.
Bangsa yang tidak lagi membela korbannya, ketika sunyi dibalik sirine akan tetapi negara datang terlambat dan terlalu sering darah tertumpah di jalanan Nusantara.
Negara yang lebih sibuk memahami pelaku ketimbang menyayangi korban, bukan hanya nyawa yang hilang tapi kepercayaan. HAM berbunyi lantang, tapi tangisan korban tenggelam jika negara tak menjaga kita, untuk apa kita menjaganya
Fahd El Fouz A Rafiq
(Ketua Umum DPP BAPERA)
Jakarta – Di bawah langit Nusantara yang tenang, ternyata gelombang keresahan diam-diam mengendap di relung masyarakat. Suara teriakan ibu-ibu yang kehilangan tas, isak tangis remaja korban begal, hingga desah kecewa pedagang kecil yang ditipu menjadi nada sumbang dari simfoni keamanan bangsa yang semakin tidak harmonis, Ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada (21/6/2025).
Ketua Umum Barisan Pemuda Nusantara ini bertanya, Mengapa ini terjadi? pertanyaan yang menyeruak dari rakyat biasa hingga para analis kebijakan. Siapa sangka, di tengah megahnya modernitas, Indonesia ternyata masih dihantui oleh kejahatan jalanan yang tak kunjung padam seperti pencurian, pembegalan, penipuan daring, hingga pemerkosaan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, kasus pencurian dengan pemberatan (curat) masih menjadi puncak kriminalitas nasional, tercatat mencapai lebih dari 65 ribu kasus per tahun secara konsisten, ungkapnya.
Siapa yang bertanggung jawab? tanya Mantan Ketum PP – AMPG ini. pemerintah yang terlalu larut dalam retorika pembangunan ekonomi? Atau masyarakat sendiri yang mulai kehilangan kompas moral dan kepekaan sosial? Pertanyaan ini mengendap di benak publik, namun jawaban yang memuaskan belum juga datang dari pemerintah, cetusnya.
Di medan sunyi keadilan, rakyat seperti berjalan sendirian.
Di mana letak krisis sesungguhnya? Krisis keamanan bukan hanya pada jumlah polisi per penduduk, tapi lebih dalam dari itu yakni hilangnya ketakutan terhadap hukum, pada lunturnya wibawa negara. Ketika pelaku begal dengan mudah keluar-masuk penjara seperti kamar kontrakan, maka sinyalnya jelas ada yang lapuk dalam sistem pemasyarakatan dan penegakan hukum kita, perlukah ada pembaharuan sistem?, tanya Fahd dengan nada getir.
Kapan semua ini bermula? Bukan hari ini. Tepatnya sejak reformasi bergulir dan era demokrasi dibuka, kebebasan berkembang, tapi juga menyisakan ruang kosong yang diisi oleh kebingungan dan disorientasi hukum. Tak sedikit yang memanfaatkan demokrasi sebagai tameng untuk kebrutalan. Dan kini, dua dekade kemudian kita memanen hasil dari ladang kebijakan yang setengah matang, papar Mantan Ketum DPP KNPI ini.
Apa yang harus dilakukan? Inilah waktu bagi negara untuk meninjau ulang definisi keadilan. Fahd A. Rafiq, tokoh muda yang vokal dalam isu sosial, menegaskan bahwa “Human Rights tidak boleh membungkam Nation Rights.”Ia menantang narasi lama yang terlalu membela pelaku, dan meninggalkan korban sebagai angka statistik. Apa gunanya HAM jika yang dilindungi adalah pelaku yang mengulang kejahatan berkali-kali?
Bagaimana jika hukuman diperketat? Gagasan untuk menembak mati penjahat yang berulang kali bukan semata soal balas dendam, melainkan wujud dari perlindungan terhadap publik yang lebih luas. Ini bukan lagi sekadar soal kriminal, tapi tentang mempertahankan peradaban. Masyarakat sudah lelah dan rasa takut telah menjelma menjadi dendam diam yang menggerogoti kepercayaan terhadap negara, tegas Fahd
Fahd menceritakan kisah seorang ibu di Bekasi yang kehilangan anaknya karena dibacok begal berteriak lirih, “Untuk apa ada negara jika kami harus menjaga diri kami sendiri?” Kalimat itu, sederhana namun menghantam jantung kewibawaan hukum. Negara tak boleh tuli terhadap jeritan seperti itu. Kita tidak boleh menormalisasi kekerasan hanya karena terbiasa melihatnya. Bahkan dalam sebuah kasus begal disebuah daerah, kakak melakukan aksi begal karena beroperasi dini hari. yang jadi korban adiknya, ketika kk nya pulang kaget ternyata dirumahnya ada bendera kuning ternyata kakaknya yang membunuh adiknya sendiri, terangnya.
Suami dari anggota DPR RI dari Partai Golkar ini melihat sisi lain, kelompok pegiat HAM memprotes wacana hukuman mati. Mereka menyebutnya melanggar konstitusi dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, bagaimana dengan hak hidup korban? Bagaimana dengan rasa aman anak-anak yang harus pulang sekolah menembus gelap dengan ketakutan? Apakah negara pencipta HAM sudah melaksanakan hal tersebut? Yakin sudah, tanya Fahd.
Lebih dalam Fahd melihat Inilah paradoks zaman. Di tengah kecanggihan CCTV, kamera tilang, dan aplikasi darurat, kita justru semakin tidak aman. Teknologi berkembang, tapi pelaku kriminal juga berevolusi. Dari pencopet pasar menjadi hacker digital dari begal motor menjadi penipu investasi. Kejahatan menyaru dalam jas modern dan wajah polos, cetusnya.
Fahd A. Rafiq menilai negara perlu melakukan moratorium HAM selektif. “HAM itu ideal, tapi negara itu nyata. Jangan biarkan idealisme menabrak realitas.” Kritik tajam ini bukan ajakan untuk brutal, tetapi peringatan bahwa toleransi terhadap kejahatan bisa menjelma menjadi pengkhianatan terhadap rakyat, tegasnya.
Lantas, apakah menembak mati solusinya? hal ini bukan satu-satunya. Tapi pengetatan hukuman bagi residivis adalah langkah awal yang adil. Pelaku kriminal yang tiga kali keluar-masuk bui ibarat bom waktu. Keempat kalinya, bisa jadi nyawa rakyat yang menjadi harga tebusannya. Pemerintah perlu mendesain sistem keadilan restoratif yang juga bersifat preventif dan represif. Penjara bukan tempat wisata. Hukum bukan pajangan. Polisi bukan selebgram. Harus ada sinyal kuat bahwa negara ini berdiri tegak, bukan bersandar pada bayang HAM yang membelenggu tangan keadilan, ucap Fahd dengan nada lantang.
Kita bukan rezim militer, tapi kita juga bukan taman kanak-kanak. Negara ini adalah rumah besar yang butuh pagar, butuh anjing penjaga yang memiliki penciuman super tajam dan butuh hukum yang tajam ke atas dan ke bawah. Keamanan adalah hak dasar rakyat. Bila itu tidak terpenuhi, maka negara sedang kehilangan ruhnya.
Kini, saatnya DPR, kementerian terkait, dan aparat penegak hukum duduk dalam satu meja bukan hanya untuk berdiskusi tapi untuk bertindak. Jangan tunggu keamanan jadi kemewahan langka seperti oksigen di ruang sempit. Rakyat menanti langkah nyata, bukan kata-kata manis di mikrofon, tegas Mantan Ketum GEMA MKGR ini.
Fahd mengingatkan, “Jika negara kalah oleh begal, maling, dan penipu, maka yang akan punah bukan hanya rasa aman, tapi juga harapan.” Kalimat ini menyayat, karena di balik statistik, ada anak-anak yang kehilangan ayahnya, ada istri yang menjanda, ada masa depan yang musnah karena kejahatan yang diabaikan.
Kita hari ini berdiri di persimpangan sejarah yaitu antara menjadi negara hukum sejati atau negara yang lumpuh oleh alasan HAM yang dipelintir. Sudah saatnya bangsa ini menetapkan pilihan membela pelaku berulang, atau melindungi generasi masa depan, tatap Fahd dengan sorpt mata yabg tajam.
Dalam sejarah bangsa-bangsa besar, keamanan bukan hanya soal polisi dan senjata. Tapi juga soal keadilan yang ditegakkan tanpa takut. Dan Indonesia hari ini, sedang ditantang untuk membuktikan apakah ia punya nyali dan berani untuk kembali menjadi negara yang ditakuti oleh pelaku kejahatan, tutup Dosen yang mengajar di Negeri Jiran ini.
Penulis: A.S.W