Fahd A Rafiq : Film 13 Bom di Jakarta, Ini Cermin Retak Sebuah Negara dan Ketidakadilan Sistemik 

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

 

Ketika Negara Gagal Menyembuhkan Luka, Ledakan Menjadi Bahasa Terakhir

Fahd El Fouz A Rafiq

(Ketua Umum DPP BAPERA) 

 

Jakarta — Pada pagi yang tenang, ketika ibu kota baru saja menggeliat dari tidurnya, tiga belas ledakan membelah langit. Tak ada tanda-tanda ideologi asing. Tak ada poster khilafah. Tak ada seruan perang suci. Yang tertinggal hanyalah sunyi, asap, dan pertanyaan besar, Ucap Fahd El Fouz A Rafiq di Jakarta pada Selasa, (1/7/2025).

 

Ketum DPP BAPERA ini mengatakan, mengapa warga biasa tega meledakkan negeri yang juga rumahnya sendiri?, tanya Fahd. Jawaban itu tak ditemukan di ruang-ruang pengintaian, tapi di ruang makan sederhana tempat nasi tak lagi cukup untuk dua anak. Di meja koperasi yang menagih cicilan, di kolong flyover yang menyaksikan keluarga kehilangan tempat tinggal, atau di layar pinjaman digital yang terus berbunyi seperti pengingat kegagalan, cetusnya.

 

Inilah kisah 13 orang yang tak lagi merasa menjadi bagian dari republik. Mereka bukan teroris klasik. Mereka adalah produk cacat dari sistem yang terlalu nyaman dengan ketimpangan. Mereka menyebut diri sebagai unit 13.

 

Mantan Ketum PP- AMPG melanjutkan, Fahri (37) mantan staf sales, adalah otak di balik rangkaian ledakan. Iya Bukan alumni Afghanistan. Bukan bekas simpatisan jaringan transnasional. Ia adalah korban dari restrukturisasi KPR yang melukai lebih dalam dari bom.

 

Rumahnya hendak disita setelah bunga floating melejit. Bagi Fahri, rumah bukan sekadar tempat tinggal ia lambang harga diri. Ketika rumah itu hilang, dirinya pun terasa tak lagi utuh. “Negara menyuruh saya bermimpi,” tulis Fahri dalam manifestonya, “tapi tidak pernah memberi saya kaki untuk berlari.”

 

13 Karakter, 13 Luka, 13 Potret Kegagalan Setiap nama dalam Unit 13 membawa kisah retak masing-masing. Ratna, buruh pabrik yang di-PHK tanpa pesangon. Taufik, mahasiswa teknik yang terpaksa drop out karena tak bisa bayar UKT. Sari, petugas kebersihan yang gajinya dipotong, sambil merawat suami yang sekarat karena BPJS tak aktif. Nia, single mother yang lapaknya disita Satpol PP demi estetika kota.

 

Mereka tidak memiliki persenjataan canggih. Tapi mereka punya amunisi paling berbahaya dalam sejarah kemanusiaan dan keputusasaan yang sistematis.

 

Ledakan sebagai Bahasa Sunyi yang Dibiarkan Membusuk. Unit 13 tidak menyebut aksinya sebagai jihad. Mereka menyebutnya sebagai “pemberitahuan”. Sebuah tanda bahwa mereka masih ada, walau tak dianggap. Seperti dijelaskan Rudi (40), mantan jurnalis yang tersisih karena industri media yang rakus pada viral, bukan pada kebenaran.

 

“Kami tak ingin menakuti, kami ingin didengar. Karena suara kami selama ini cuma pantulan di ruang kosong.”

Narasi mereka bukan soal ideologi, tapi soal eksistensi. Ledakan menjadi kalimat terakhir ketika seluruh kalimat lain gagal dipahami, ungkap mantan Ketum DPP KNPI ini.

 

Buruh dengan kontrak yang diperpanjang tanpa kejelasan, nelayan yang kalah oleh kapal industri, guru honorer yang bekerja untuk sistem tapi tak diakui oleh sistem semuanya berbagi luka yang sama yakni hilangnya martabat sebagai manusia.

 

Di lain sisi Indonesia membangun gedung tinggi, jalan tol, dan platform digital, tapi gagal membangun jembatan antara janji konstitusi dan kenyataan di dapur warga.

 

Suami dari Anggota DPR RI ini memaparkan, dalam narasi Simone de Beauvoir, manusia ingin diakui agar merasa ada. Dalam negara yang membiarkan sebagian rakyatnya hanya hidup untuk membayar, mengemis subsidi, dan menunggu keputusan elite maka pengakuan menjadi kemewahan.

 

“Kami bukan penjahat,” tulis Lina (28), perawat kontrak yang pernah dielu-elukan saat pandemi. “Kami hanya ingin diakui pernah ada sebelum kami mati.”

 

 

Fahd melihat Film 13 Bom di Jakarta bukan sekadar karya sinema. Ia dalah refleksi cermin retak dari struktur bangsa. Terinspirasi dari kasus nyata bom Mall Alam Sutera (2015) yang melibatkan Bitcoin, narasi film ini menjelma menjadi sajak sosial penuh dentuman, memperlihatkan bagaimana perlawanan kini lahir bukan dari buku suci, tapi dari tagihan yang tak mampu dibayar.

 

Diperkuat oleh fiksi karakter dan rujukan pada tokoh nyata seperti Komjen Pol Martinus Hukom, Irjen Khrisna Murti, hingga CEO Indodax Oscar Darmawan. film ini mempertemukan dua dunia yakni yang mengejar hukum, dan yang mengejar pengakuan, terang Fahd.

 

Kita sering bangga pada semboyan “gotong royong”, tapi apakah kita benar-benar gotong mereka yang tak mampu membayar cicilan? Apakah kita negara, jika warga merasa harus meledakkan kota agar dianggap hidup?

 

Jika sistem terus memproduksi frustrasi, jika ekonomi hanya untuk yang kuat, dan jika keadilan hanya untuk yang mampu membayar pengacara, maka Unit 13 hanyalah bab pertama dari buku panjang bernama Ledakan yang Ditulis oleh Negara Itu Sendiri, papar Fahd.

 

Selama kita tidak mendengar jeritan dari gang-gang sempit, rumah kontrakan yang gelap, dan ponsel-ponsel yang tak bisa dibayar pulsanya, kita sedang membangun bom secara sosial, psikologis, dan ideologis.

 

Dan jika kelak terdengar lagi dentuman di jantung ibu kota, jangan buru-buru menyalahkan “radikalisme”. Mungkin yang meledak bukan bom. Tapi martabat manusia yang terlalu lama dilukai, tutup dosen yang mengajar di negeri Jiran ini

 

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita