Jakarta – Di atas panggung peradaban modern yang penuh kepura-puraan diplomasi dan manuver halus geopolitik, kini kita menyaksikan satu babak yang getir dan mengerikan dunia seolah sedang menari di atas bara api yang menyala, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada (25/6/2025).
Suatu perang tidak selalu dimulai dengan peluru kadang ia lahir dari propaganda, hasrat sumber daya, dan ego para penguasa dunia yang oleh Fahd A Rafiq disebut sebagai “5 Dewa Perang” yakni Donald Trump, Benjamin Netanyahu, Vladimir Putin, Ayatollah Ali Khamenei, dan Xi Jinping.
Perang Iran-Israel bukan sekadar konflik regional. Ia adalah nyala lilin terakhir dari sumbu panjang sejarah dendam, energi, dan dominasi ideologi yang telah mengering di tanah Timur Tengah selama berabad-abad. Bukan kebetulan jika saat ini, ketika ekonomi global tengah rapuh dan blok-blok kekuatan dunia mulai retak, konflik bersenjata ini kembali memanas, terang Fahd.
Fahd A Rafiq, Ketua Umum DPP BAPERA, dalam pernyataan tajamnya, menekankan bahwa dunia sedang dalam ambang kehancuran total jika tidak segera ditangani dengan kebijaksanaan tingkat tinggi. “Cepat atau lambat, Perang Dunia Ketiga akan meletus.
Dunia telah berubah dari perang dingin menjadi perang panas,” ucapnya, merujuk pada pandangan Presiden Prabowo Subianto yang kerap memperingatkan tentang ancaman global.
Presiden Prabowo, dalam banyak pidatonya, telah menggarisbawahi pentingnya kemandirian nasional di segala sektor. Pandangan itu kini terbukti sangat relevan. Dalam konteks kemungkinan perang global, ketahanan energi, pangan, dan pertahanan menjadi pilar-pilar yang menentukan apakah Indonesia akan bertahan atau runtuh di tengah badai sejarah.
Narasi tentang “5 Dewa Perang” adalah tentang bagaimana nasib tujuh miliar manusia kini berada di genggaman segelintir elite yang bermain di atas papan catur dunia. Donald Trump dengan retorika populisnya yang mengguncang Amerika, Netanyahu yang mengendap-endap di lorong gelap politik agresif Israel, Putin yang membungkus ambisi dengan nostalgia imperial Rusia, Xi Jinping yang menata ulang peta dunia dengan diplomasi sabar namun mencengkeram, dan Khamenei sebagai simbol pertahanan terakhir Republik Islam Iran yang kini terkepung oleh kepentingan global.
Fahd mencurigai pola serangan terhadap Iran memiliki kemiripan dengan narasi Amerika pada invasi Irak di bawah Saddam Hussein, isu senjata pemusnah massal, yang kelak terbukti ilusi. “Tujuannya bukan semata menjaga keamanan global, tapi untuk menguasai dua hal strategis yakni minyak dan uranium,” katanya.
Dunia memang belum belajar dari sejarah atau mungkin, sengaja melupakannya demi keuntungan. Apa yang terjadi di Iran hari ini adalah gema dari kekelaman masa lalu. Seperti perang Troya yang dimulai karena wanita. perang saat ini dimulai karena energi minyak dan uranium. Namun lebih dari itu, perang ini adalah tentang dominasi. Tentang siapa yang pantas menulis ulang aturan dunia pasca-era Barat.
Sebagian pengamat menyebutkan bahwa strategi serangan terhadap Iran hanyalah bagian dari permainan “endgame” geopolitik global, di mana Barat merasa kehilangan kendali atas jalur energi dunia. Iran, dengan cadangan uranium terbesar dan cadangan minyak terbesar keempat di dunia, adalah ‘kunci’ dari benteng terakhir dominasi Timur Tengah.
Namun Indonesia, menurut Fahd, harus tetap berdiri dalam posisi netral yang aktif bukan netral yang pasif. Artinya, Indonesia bukan hanya menjauh dari konflik, tapi juga berperan aktif dalam mediasi damai, membawa suara Global South agar tak selalu dikorbankan demi ambisi Global North. Inilah esensi politik luar negeri bebas aktif yang selama ini menjadi prinsip Indonesia.
Dunia, kata seorang filsuf, tidak akan kiamat karena orang jahat, tapi karena orang baik yang memilih diam. Maka dalam konteks hari ini, Indonesia tidak boleh menjadi penonton sejarah. Kita harus memastikan bahwa dalam pesta pora darah dan api ini, suara moral dan keadilan masih terdengar.
Apakah kita siap? Pertanyaan ini bukan lagi retorika. Ia adalah alarm keras bagi bangsa yang selama ini terlalu nyaman dalam romantika damai. Ketika langit mulai merah oleh misil, dan jaringan ekonomi dunia terputus oleh embargo serta sanksi, maka hanya negara yang memiliki kemandirian pangan, energi, dan industri yang akan tetap tegak berdiri.
Para ahli hubungan internasional melihat bahwa dunia telah memasuki era multipolar yang rapuh. Tidak ada satu kekuatan hegemonik tunggal. Amerika Serikat tak lagi bisa mendikte dunia sesuka hati. China, Rusia, dan kekuatan Islam mulai memegang peran signifikan. Tapi dalam kekosongan kepemimpinan moral global inilah, konflik menjadi keniscayaan.
Fahd menyebut Prabowo Subianto sebagai salah satu tokoh yang paham bagaimana dunia bergerak ke arah “realpolitik” yang brutal. Seorang mantan jenderal yang tahu, bahwa perdamaian hanya bisa dijaga oleh kekuatan. Maka bukan kebetulan jika agenda besar Indonesia ke depan adalah memperkuat pertahanan bukan untuk menyerang, tapi agar tidak diinjak.
Perang bukan hanya soal militer. Ia juga soal disinformasi, serangan siber, manipulasi ekonomi, dan sabotase diplomasi. Inilah yang disebut para pakar sebagai hybrid war. Dan perang jenis ini sudah berlangsung diam-diam, bahkan mungkin di dalam negeri kita sendiri.
Ketika bom meledak di Timur Tengah, dampaknya terasa sampai ke pasar tradisional di Tanah Abang, Jakarta. Harga minyak naik, logistik terganggu, inflasi melonjak. Maka perang global bukan hanya soal tank dan jet tempur tapi juga soal perut rakyat, papar Mantan Ketum DPP KNPI ini.
Indonesia harus menjadi jangkar stabilitas di Asia Tenggara. Tapi jangkar hanya kuat jika tertanam di dasar yang kokoh kemandirian nasional, persatuan sosial, dan ketahanan budaya. Jika tidak, kita akan hanyut dalam gelombang besar sejarah yang tidak mengenal belas kasihan, tegas Fahd.
Fahd mengingatkan, bahwa sejarah selalu berulang. Dari Perang Dunia I, II, dan kini menuju yang ketiga. Semua dimulai dengan ketamakan dan berakhir dengan kesedihan. Maka tugas kita hari ini adalah belajar dari masa lalu agar tidak mengulanginya.
Jika benar dunia ditentukan oleh “5 Dewa Perang”, maka saatnya muncul “Dewa Damai” dari dunia Selatan. Dan mungkin, Indonesia adalah takdirnya. Bukan karena kekuatan senjata, tapi karena kekuatan nurani dan keberanian memilih jalan tengah di dunia yang semakin ekstrem, tutup dosen yang mengajar di Negeri Jiran ini.
Penulis: A.S.W