Konflik Iran – Israel sebagai puisi tragis peradaban di mana kita lebih senang menjadi benar dari pada menjadi adil. Di medan perang, peluru membunuh tubuh. Tapi di medan ide, kebencian membunuh nurani. Dan itulah tragedi sesungguhnya dari konflik ini.
Fahd El Fouz A Rafiq
(Ketua Umum DPP BAPERA)
Jakarta – Konflik Israel–Iran adalah salah satu simpul geopolitik paling kompleks di kawasan Timur Tengah, Fahd memandang konflik ini dari spektrum yang tidak hanya mencakup militer dan politik, tetapi juga ideologis, historis, dan simbolis. Dalam versinya kali ini akan menyelami ke kedalaman tafsir intelektual dan eksistensial, di mana konflik ini tak hanya dibaca sebagai peristiwa, tetapi sebagai refleksi atas luka peradaban dan paradoks kekuasaan, cetus Fahd El Fouz A Rafiq ini di Jakarta pada Kamis, (3/72025).
Ketum DPP BAPERA ini sependapat dengan Dr. Evi Fitriani (pengamat Hubungan Internasional FISIP UI) menyebut bahwa Iran dan Israel tidak terlibat dalam perang konvensional secara langsung, tetapi melalui kelompok-kelompok proxy seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan milisi Syiah di Suriah dan Irak. Israel menganggap keberadaan milisi-milisi tersebut sebagai ancaman eksistensial yang dikendalikan oleh Teheran, paparnya.
“Konflik ini bukan hanya dua negara. Ini adalah medan representasi dari perebutan pengaruh regional, yang dipenuhi ego sektarian dan trauma historis.”, paparnya.
Lebih dalam Fahd melihat, “Israel dan Iran adalah dua kutub kekuatan yang bersaing dalam hegemonic leadership di Timur Tengah. Iran dengan Revolusi Islam 1979-nya ingin menjadi lokomotif perlawanan terhadap imperialisme Barat dan Zionisme. Hal inilah yang sangat diantisipasi oleh Israel, ungkapnya.
Lebih dalam lagi Mantan Ketum PP-AMPG ini melihat, Israel ingin mempertahankan dominasi keamanan dan teknologi, sekaligus memastikan tidak ada kekuatan regional yang mampu menandingi supremasinya.
Israel punya teknologi dan jaringan diplomasi global, sementara Iran punya ideologi revolusioner dan jaringan perlawanan. Mereka sama-sama menolak eksistensi satu sama lain dalam peta realitas. Intinya dua duanya merasa besar dan matahari kembar dikawasan timur tengah, terangnya.
Lebih dalam Mantan Ketum DPP- KNPI mendalami, konflik ini juga adalah perang narasi. Israel membungkus tindakannya dalam logika pertahanan diri (self-defense), sedangkan Iran menyebut dirinya sebagai pelindung umat tertindas (Mustadh’afin), khususnya Palestina, dua ummat yang ada di dalam Al qur’an (QS. AR-RUM) dan bibel sedang konflik. Karena mereka menganggap bangsa yang disebut di banyak kitab suci agama samawi, paparnya.
Fahd secara langsung tidak langsung mengajak publik dalam memahami konflik negara ini dengan melepas sejenak baju militerisme dan angka-angka geopolitik. Kita melompat ke dalam kerangka intelektualisme kontemplatif, melihat konflik ini bukan sekadar siapa menyerang siapa, tapi siapa yang ingin dikenang sebagai siapa dalam sejarah umat manusia. Mereka berdua sudah sampai dalam tahapan level ini, bagaimana dengan Indonesia?
Hal yang perlu dicatat adalah Israel dibangun di atas ingatan traumatik Holocaust. Iran bangkit dari luka imperialisme Barat yang menggulingkan Mossadegh dan menanam Shah sebagai boneka. Keduanya adalah negara yang didefinisikan oleh penderitaan historis dan trauma kolektif. Dan seperti manusia yang terluka, bangsa-bangsa ini mencari makna lewat perlawanan. Di sinilah konflik menjadi personal bukan sekadar strategi militer, tapi pencarian eksistensial”aku ada karena aku melawan.”, ungkap Fahd.
Israel, dengan kekuatan AI, teknologi senjata, dan dukungan dari AS dan Eropa, merepresentasikan rasionalitas barat-modern yang melandaskan eksistensi pada logika kemajuan dan pertahanan diri. Iran, dengan jargon anti-Zionisme dan solidaritas Palestina, mewakili oposisi terhadap narasi modernitas itu, sebuah revolusi Timur yang ingin mengoreksi sejarah yang pincang. Ini adalah pertarungan filsafat apakah sejarah ditulis oleh yang menang, atau oleh mereka yang menolak untuk menyerah?
Lebih dalam Fahd melihat Kedua negara ini mengklaim otoritas moral dan spiritual. Iran lewat konsep Wilayat al-Faqih menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi dalam memperjuangkan keadilan global. Israel, lewat keyakinan pada Tanah yang Dijanjikan, menjadikan wilayah sebagai manifestasi janji ilahi.
Ironisnya, atas nama Tuhan, dua bangsa ini saling membunuh seolah Tuhan butuh dibela dengan rudal dan drone,
Refleksi untuk Indonesia dan Dunia: Di Antara Empati dan Strategi
Fahd A Rafiq sependapat sekali dengan Pengamat UI yang menegaskan bahwa Indonesia perlu bersikap kritis dan bijak. Di satu sisi, mendukung Palestina adalah amanat konstitusi dan etika kemanusiaan. Namun di sisi lain, hubungan diplomatik dan keamanan regional tak bisa semata digerakkan oleh emosi kolektif. Diplomasi cerdas adalah kemampuan membaca luka, bukan memperuncingnya.
Konflik Israel Iran bukan hanya tentang wilayah, drone, atau nuklir. Ia adalah drama kosmik, di mana manusia berperan sebagai Tuhan dan lupa menjadi manusia. Hal bisa disebut sebagai dinamika sistemik, tutup dosen yang mengajar di Negeri Jiran ini.
Penulis: A.S.W