Jakarta – Dunia tidak lagi sama. Pada hari itu, sejarah tidak hanya ditulis—ia diguncang, digores keras oleh tangan Donald J. Trump. Ia mengumumkan apa yang disebutnya sebagai “Liberation Day”, sebuah momen yang menjadi lonceng perang ekonomi terbesar abad ini. Dari perang tarif ke perang saham. Dari sengketa dagang ke pengambilalihan kekuatan global. Dunia menahan napas. Dan Indonesia? Berdiri di tengah badai, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (14/4/ 2025).
Amerika Bangkit, Dunia Bergetar
Ketua Umum DPP BAPERA mengatakan, “Donald Trump, tokoh flamboyan yang tak pernah gentar melawan arus, kembali memegang palu godam ekonomi. Kali ini, bukan hanya sekadar retorika kampanye. Ia menuding dunia telah lama menekan dan “memalak” Amerika. Produk Amerika dibebani tarif tinggi oleh banyak negara, termasuk Indonesia.“Amerika tidak akan terus dirugikan!” serunya lantang di panggung dunia, katanya.
Lebih lanjut, Indonesia pun kena getahnya. Dengan defisit perdagangan sekitar USD 18 miliar, kita masuk daftar hitam: “dirty country.” Lebih ironis lagi, tarif rata-rata 64% yang dikenakan Indonesia atas produk Amerika menjadi bahan bakar utama retaliasi Washington. Sementara itu, Singapura, dengan cerdasnya mematok tarif cuma 10%, nyaris bebas dari pukulan balasan.
IHSG dalam Guncangan: Langit Ekonomi Menghitam
Dan kini, Indonesia bersiap memasuki babak dramatis. 8 April 2025, pasar dibuka—dan badai pun tiba. IHSG, Indeks Harga Saham Gabungan, akan jatuh. Bukan sekadar turun, tetapi terguncang seperti diterjang gempa finansial.
Namun, seperti di film-film epik, dari reruntuhan bisa lahir kekuatan baru. Saham lapis dua dan tiga tidak serta-merta tenggelam. Justru di sanalah akan ada “permainan besar.” Para raksasa modal akan masuk, mengguyur, dan menggoreng pasar. Valuasi akan dimanipulasi.Aset akan diangkat tinggi semata-mata demi satu hal: dominasi.
Perang Saham: Amerika Datang Membeli Dunia
Lebih lanjut, mantan Ketum DPP KNPI mengatakan, “Trump tak hanya menyiapkan tarif. Ia menyiapkan tentara jenis baru: dolar. Private equity Amerika, dana ventura Silicon Valley, dan perusahaan raksasa Wall Street akan menyapu bursa-bursa dunia. Mereka tak datang membawa senjata, tetapi membawa buku cek.
Perusahaan Indonesia yang sehat, efisien, dan punya prospek kelas dunia akan menjadi mangsa empuk. Ini bukan akuisisi biasa. Ini adalah “perang senyap,” pengambilalihan kontrol ekonomi global melalui kepemilikan saham. Yang tidak siap akan dibeli. Yang ragu akan dilindas.
Indonesia dalam Cermin Sejarah: Prabowo dan Momentum Global
Saat itulah, Indonesia dipaksa memilih. Presiden Prabowo Subianto tidak sedang menghadapi urusan biasa. Ini adalah soal takdir bangsa.Apakah Indonesia akan merapat ke poros Amerika dan menjadi bagian dari “ekonomi baru”, atau berdiri bersama BRICS dalam melawan dominasi dolar?
Keputusan ini bukan hanya untuk hari ini, tetapi untuk puluhan tahun ke depan. Jika salah langkah, Indonesia bisa terjebak sebagai pasar yang dikuasai investor asing. Tetapi jika tepat, Indonesia bisa naik kelas menjadi pemain global, bukan hanya pion.
Dunia Baru: Disusun Ulang di Atas Meja Kapital
Lebih lanjut mantan Ketum PP AMPG menjelaskan, “Ini bukan lagi soal angka dan grafik. Ini soal nasib dan strategi. Perang tarif hanyalah bab pendahuluan. Kini, dunia sedang memasuki era mutasi ekonomi. Modal menggantikan militer, valuasi menggantikan invasi. Bursa saham adalah medan tempur, dan dolar adalah peluru paling mematikan.”
Indonesia, Waktumu Telah Tiba
Pertanyaannya kini bukan lagi: “Apakah kita siap?” Pertanyaannya adalah: “Apakah kita tahu kita sedang berperang?” Dunia menulis ulang aturan main.Sejarah sedang membuka babak baru. Dan Indonesia berdiri di tengah halaman itu—siap menorehkan tinta emas, atau terhapus dari naskah. Fahd A Rafiq, dosen Indonesia di negeri jiran, menutup analisisnya dengan satu pesan sederhana, namun menghentak: “Bangunlah, Indonesia. Dunia sedang menunggumu.”