Sakit itu tak selalu soal tubuh. Kadang ia bersumber dari ketidakpedulian kolektif bangsa yang diam terlalu lama
Ranny Fahd A Rafiq
(Anggota DPR RI KOMISI IX)
Jakarta — Di sebuah negeri yang menjunjung Pancasila dan memuja Tuhan dalam setiap pembukaan sidang dan khotbah Jum’at, ada penyakit yang tumbuh dalam senyap HIV/AIDS. Ia tidak menggedor pintu dengan suara keras, tapi menyusup seperti kabut subuh dingin, nyaris tak terasa, namun menggigilkan tulang bangsa. Di tengah gemuruh pembangunan dan gegap-gempita politik elektoral, virus ini seperti tak terdengar. Tapi justru dalam keheningan itulah ia paling mematikan, Ucap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (23/6/2025).
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, “Data Kementerian Kesehatan Indonesia (Laporan Triwulan I 2025) mengungkap fakta mencengangkan sebanyak 55.500 kasus baru HIV tercatat, dengan 75% penderita berada di rentang usia produktif 20–35 tahun. Sebuah lonjakan yang mengkhawatirkan bukan hanya karena jumlahnya, tapi karena keheningan sosial yang mengelilinginya. Banyak yang terdiagnosis saat stadium lanjut bahkan tak tahu mereka telah tertular, ungkap Ranny.
Sementara akses ARV (Antiretroviral) masih belum merata. Di luar kota-kota besar, pengobatan adalah kemewahan. Edukasi seksual nyaris nihil dan di tengah masyarakat yang mengagungkan moralitas, stigma justru menjadi virus kedua yang lebih membunuh dari pada HIV itu sendiri, terang Anggota komisi IX DPR RI ini.
Dalam kaca mata agama, HIV/AIDS adalah panggilan tafakkur. Bukan untuk menghakimi, tapi untuk merenungi mengapa bangsa yang memuliakan kesucian, justru membiarkan penyakit menyebar dari ruang-ruang sunyi tanpa kasih? Bukankah inti ajaran agama adalah rahmatan lil alamin kasih sayang bagi semesta? tanya Ranny.
Namun di banyak tempat, mimbar-mimbar lebih memilih diam atau menghukum. Mereka menyebut ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) sebagai hasil dari “dosa moral”, tanpa melihat sisi medis, sosial, dan strukturalnya. Agama, dalam hal ini, terlambat turun ke jalan. Terlambat menjadi pelita. Dan dalam keterlambatan itu, banyak nyawa hancur oleh pengucilan.
Di lain sisi Ranny melihat HIV bukan sekadar infeksi tubuh, tapi infeksi sosial. Sebuah penyakit yang berkembang karena kegagalan struktur sosial dalam mendidik, merangkul, dan melindungi. Pendidikan seks dianggap tabu, tetapi eksploitasi seksual justru marak. Bicara tentang pencegahan dianggap amoral, namun pergaulan bebas dianggap tren, Ungkap Ranny dengan nada geram.
Masyarakat Indonesia dengan stratifikasi sosial yang kompleks dan budaya malu yang menekan telah menciptakan ruang isolasi bagi para penderita. Mereka lebih takut pada gunjingan tetangga dari pada virus dalam tubuhnya. Dan inilah tragedi terbesar dari wabah ini masyarakat justru memperparah penderitaan, alih-alih menyembuhkan, papar Istri dari Fahd A Rafiq ini.
HIV/AIDS bukan hanya fenomena medis, tapi produk dari interaksi manusia dengan nilai-nilai budayanya sendiri. Di kota, budaya urban yang mengedepankan kebebasan tubuh tanpa tanggung jawab membuat anak muda terjebak dalam gaya hidup berisiko.
Lebih dari itu, budaya patriarki telah menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan. Banyak perempuan tertular dari suami yang “jantan di luar, alim di rumah.” Perempuan tidak diberi ruang untuk bertanya, apalagi melindungi diri. HIV/AIDS dalam konteks ini adalah jeritan budaya yang gagal menyeimbangkan antara kehormatan dan perlindungan. Perempuan baik baik sering jadi korban dalam kasus ini, ungkap Ranny dengan nada jengkel
Ranny mengungkapkan hal yang mengejutkan, “dalam dunia yang semakin tanpa batas, HIV/AIDS tidak bisa lagi dipandang sebagai penyakit lokal. Ia adalah fenomena geopolitik, karena bergerak bersama migrasi tenaga kerja, konflik, urbanisasi, dan pariwisata seksual. Indonesia, sebagai negara transit dan destinasi, harus memahami bahwa virus ini menari dalam pergerakan global, cetusnya
Lebih dari itu, kebijakan luar negeri dan diplomasi kesehatan kita lemah dalam memperjuangkan akses ke ARV generik dan kemitraan regional untuk kontrol penyebaran. HIV menjadi isu nasional yang terjebak dalam politik birokrasi global. Kita tidak cukup berdaulat bahkan dalam hal menyembuhkan rakyat kita sendiri, ini aneh, terang Ranny.
Ada yang menyebut HIV sebagai produk rekayasa biologi, sebagai bagian dari perang sunyi yang menargetkan populasi negara dunia ketiga.
Terlepas dari perdebatan, kita harus kritis: apakah penyebaran HIV di negara berkembang hanya kebetulan, atau ada pola?
Lemahnya sistem kesehatan, buruknya literasi, ketergantungan pada bantuan luar, dan sistem perdagangan obat yang dikendalikan segelintir korporasi global semua itu menjadikan negara seperti Indonesia rentan dijadikan ladang uji coba atau pasar tak berdaya. Maka, HIV/AIDS juga bisa dibaca sebagai refleksi ketimpangan global dalam bentuk penyakit.
Ranny menegaskan kembali, pencegahan HIV/AIDS tidak akan berhasil selama pendekatannya hanya medis. Yang kita butuhkan adalah strategi multidisipliner yang menyentuh tubuh, jiwa, dan struktur masyarakat. Pendidikan seks komprehensif sejak dini, yang menjelaskan tubuh, hubungan, dan perlindungan, ini untuk masa depan generasi Indonesia, paparnya.
Sekali lagi Ranny Fahd A Rafiq mengajak peran aktif tokoh agama sebagai pelindung, bukan penghukum. Kebijakan sosial inklusif yang memberi akses kesehatan kepada semua, terutama marjinal. Kebudayaan baru yang memuliakan tanggung jawab, bukan hanya kehormatan palsu. Diplomasi kesehatan berdaulat, yang memastikan rakyat punya akses obat tanpa dikendalikan perusahaan farmasi global, disini kita harus berdikari, tegasnya.
HIV/AIDS bukan azab. Ia bukan murka Tuhan, bukan pula kutukan sejarah. Ia adalah cermin yang jujur yang memantulkan semua keburukan yang kita sembunyikan di balik simbol, jargon, dan kesalehan palsu.
Jika kita ingin menyembuhkan bangsa ini, kita harus mulai dari menyembuhkan cara berpikir kita tentang penyakit itu sendiri. Bahwa HIV bukan hanya persoalan medis, tapi pertarungan eksistensial bangsa terhadap kemanusiaan, nilai, dan kejujuran. Di dunia yang sedang semakin bising, mari jangan biarkan penderita HIV mati dalam sunyi, tutupnya.
Penulis: A.S.W