Jakarta– Kami datang membawa salam. Mereka menyambut dengan sengat. Kami melangkah dengan niat baik. Mereka menyambut dengan bilah pisau kebijakan yang telah diasah lama. Kami mengulurkan tangan kerjasama, mereka menjulurkan daftar tuduhan dan tarif, Ini Tamparan Keras. Ucap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Sabtu (10/5/2025).
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, “Indonesia datang ke Washington sebagai mitra, tapi diperlakukan sebagai musuh. Dari balik dinding marmer gedung megah Washington, harapan Indonesia runtuh satu per satu seperti daun gugur di musim gugur diplomasi.
Bukannya kesepakatan, kami membawa pulang luka. Bukannya senyuman, kami disuguhi sorotan sinis, tarif tajam, dan tuduhan tanpa ampun. Tarif melonjak dari 32% menjadi 47%. Dan lebih pedih dari itu martabat bangsa ikut digerus, dihancurkan, diremukkan, ucap Ranny.
Amerika Berkedip kepada Tiongkok, Tapi Melotot kepada Indonesia
Dalam duel diam ekonomi global, AS berkedip kepada Tiongkok, karena angka ekonomi mereka menciut, menyusut, dan tersudut. Tapi terhadap Indonesia? AS melotot, menggeram, menggertak. Dan kita? Kita duduk dengan wajah datar, tanpa daya, tanpa siasat. Tiongkok diperlakukan sebagai tandingan, Indonesia dianggap remeh. Kita seperti anak kecil masuk ke ring tinju melawan raksasa tanpa pelindung, tanpa pelatih, tanpa peta.
Meja Diplomasi yang Menjelma Jadi Meja Jagal
Apa yang kita sangka forum perundingan, ternyata ruang pemotongan. Apa yang kita bayangkan sebagai forum persahabatan, ternyata ruang pembantaian kebijakan. QRIS dan GPN lambang kedaulatan digital kita dijadikan kambing hitam dalam negosiasi.
Visa dan MasterCard lebih dianggap penting daripada nasionalisme transaksi rakyat Indonesia. Mereka menyerang bukan hanya neraca perdagangan, tapi dompet digital kita, ruang transaksi kita, urat nadi ekonomi rakyat kecil kita. Dan para negosiator kita? Terdiam, terduduk, terjebak. Tanpa intelijen ekonomi, tanpa navigasi media, tanpa kompas politik global. Seolah kita datang hanya untuk dihukum, bukan untuk berdiskusi.
Negosiasi Tanpa Navigasi: Negeri yang Buta di Tengah Badai
Sebagai anggota Badan Anggaran DPR RI, saya melihat kegagalan ini bukan sekadar kelemahan teknis, ini kelumpuhan strategis. Dunia bukan lagi pasar, dunia kini medan pertempuran, tegas Ranny. Perdagangan bukan cuma hitung-hitungan dagang, tapi arena adu narasi, perang persepsi, dan sabotase simbol, cetusnya.
Negara yang tak punya intelijen ekonomi, adalah negara yang siap disandera. Negara yang tak paham bagaimana industri mitra membentuk opini publiknya adalah negara yang siap dijatuhkan narasinya. Negara yang tak tahu siapa lawan, siapa kawan, siapa kingmaker di balik layar, akan terus jadi wayang tanpa dalang, tegas Ranny dengan nada geram.
Empati di Ruang Eksekusi: Ironi Sebuah Penyerahan
Istri dari Ranny Fahd A Rafiq menjabarkan, kita datang menawarkan empati. Kita datang menyodorkan imbal beli. Kita janji beli gandum mereka. Kita tawarkan beli LPG mereka. Tapi kita lupa, di ruang coercion, empati adalah simbol menyerah. Empati di ruang eksekusi hanyalah ilusi, absurditas, kekeliruan. Yang diperlukan bukan rasa, tapi rencana. Bukan simpati, tapi strategi.
Sebagai wakil rakyat, saya bersuara bukan hanya untuk industri, tapi untuk rakyat. Karena tekanan ini menyerempet langsung urat nadi digitalisasi keuangan Masyarakat Indonesia. Kita sedang digempur bukan hanya sebagai negara, tapi sebagai sistem. Dan kita tidak boleh diam, perlukah ada negosiasi ulang? tegas Ranny.
Lima Langkah untuk Bangsa dan Negara Indonesia yang Ingin Bangkit
Negara tidak boleh lagi datang sebagai tamu yang bingung. Kita harus masuk sebagai mitra yang matang. Dan itu berarti:
• Bangun intelijen ekonomi berbasis data global.
• Pahami peta kekuasaan dan opini publik negara mitra.
• Libatkan think tank independen dan cendekiawan diaspora.
• Susun narasi global yang kuat, dari New York Times, Al Jazeera, CNBC, CNN hingga BBC.
• Letakkan diplomasi ekonomi di panggung pertahanan nasional.
Bangsa Besar Tak Datang untuk Dikalahkan
Indonesia bukan bangsa kecil. Kita besar, tapi belum bertindak seperti bangsa besar. Negosiasi internasional bukan hanya soal tarif, tapi juga tentang takhta dan kehormatan. Kita tak boleh lagi melangkah dengan wajah datar, tapi dengan kepala tegak dan dada terbuka.
Kita tak boleh lagi bertanya “kenapa begini?”, tapi harus menjawab “apa yang akan kita lakukan?”. Kita tak boleh datang sebagai pelengkap, tapi sebagai penentu. Kita tak boleh datang hanya untuk didengarkan, kita harus datang untuk menentukan.
Penutup: Dari Diplomasi yang Gagal Menuju Kedaulatan yang Kekal
Sebagai wakil rakyat (anggota DPR RI dari Fraksi Golkar) anggota Badan Anggaran, anggota Komisi IX, ibu, istri, dan pejuang politik, saya berseru dari ruang yang sama tempat kita memutuskan arah negara ini. Bangkitlah Indonesia. Bangkitlah dari ketidaktahuan. Bangkitlah dari ketakutan. Bangkitlah dari keraguan. Karena kita bukan bangsa yang datang untuk kalah. Kita adalah bangsa yang harus datang untuk menang, Merdeka, tutup Ranny.
Penulis: A.S.W