BAGIAN II
Negara yang sehat bukanlah yang tidak memiliki penyakit, tapi negara yang tak membiarkan penyakit tumbuh karena diam
Ranny Fahd A Rafiq
(Anggota DPR RI KOMISI IX)
Jakarta – Di negeri yang tampak sehat di permukaan ini, sesungguhnya kita sedang menyaksikan penderitaan kolektif yang tak terdengar suaranya. Penyakit ini bukan sekadar persoalan medis, melainkan cerminan dari sebuah bangsa yang terlena serta gagal membaca jerit sunyi dari ruang-ruang gelap urban, dari anak-anak muda yang terjerumus dalam seks bebas, dan dari para korban yang terpinggirkan oleh sistem yang lebih sibuk menghakimi dari pada menyembuhkan, Ucap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Selasa, (24/6/2025).
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, “hari ini Indonesia sedang sakit diam-diam. Di antara stigma, seksualitas yang dibungkam, dan negara yang absen dari tanggung jawab moral. HIV/AIDS menjelma menjadi dosa yang tak pernah diterangkan. Sebuah penyakit sosial yang tumbuh dari kepalsuan moral kita sendiri. Ketika negara gagal menjadi ibu bagi anak-anak mudanya, membiarkan mereka tersesat tanpa pendidikan seksual yang benar, tanpa perlindungan yang layak, maka penyakit ini bukan hanya milik mereka yang terinfeksi, tapi milik kita semua yang memilih untuk tutup mata, papar Ranny.
Lebih dalam istri dari Fahd A Rafiq ini melihat, “gemerlap kota yang tak pernah tidur, di lorong-lorong sunyi apartemen harian, dan di balik layar ponsel yang tak lelah berdering, tersimpan sebuah ironi zaman. HIV/AIDS bukan lagi sekadar penyakit medis ia telah menjadi metafora luka sosial yang menganga, hasil dari pergeseran nilai, keterasingan eksistensial, dan kelumpuhan moral publik. Sebuah krisis senyap yang tumbuh dalam diam, namun mematikan dalam senyuman, cetus Ranny.
Ranny memaparkan, “data Kementerian Kesehatan RI mencatat bahwa hingga akhir 2023, terdapat lebih dari 580.000 orang hidup dengan HIV. Dari angka itu, hanya sekitar 70% yang menyadari statusnya, dan lebih dari 40% belum mendapatkan terapi antiretroviral (ART) yang menyelamatkan jiwa.
Sementara WHO dan UNAIDS mencatat bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan kasus HIV baru tercepat di Asia-Pasifik. Dan
yang lebih memprihatinkan data menunjukkan bahwa kelompok usia muda, terutama remaja usia 15–24 tahun, kini mendominasi infeksi baru, ungkap Ranny.
Ranny memaparkan, “pola penyebarannya pun telah bergeser dari penggunaan jarum suntik ke praktik seks bebas tanpa pengaman, yang sering kali berlangsung dalam bayang-bayang digitalisasi, prostitusi terselubung, hingga eksploitasi seksual dalam relasi transaksional, cetusnya.
Di lain sisi Ranny melihat Istilah “seks menyimpang” kerap dilontarkan dengan gegabah dalam ruang publik, tanpa mengupas akar sosiologis dan psikologis di balik fenomena itu. Pemerintah, tokoh agama, bahkan sebagian media massa masih menjadikan orientasi seksual tertentu sebagai kambing hitam, tanpa memahami bahwa yang menyebar bukan semata perilaku, tetapi ketiadaan ruang aman untuk edukasi dan intervensi.
Ranny mengutip dari Sosiolog UI, Dr. Wahyu Satrio, menyebut fenomena ini sebagai “fragmentasi nilai dalam ruang urban.” Ia menambahkan, “Kita hidup dalam masyarakat yang menuntut moral tinggi, namun tak menyediakan kanal pemahaman seksualitas yang sehat.”, paparnya.
Ranny melihat fenomena ini di banyak daerah, ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya melawan virus dalam tubuhnya, tapi juga virus stigma dalam pikirannya. Mereka ditolak bekerja, dikucilkan di sekolah, bahkan dijauhi keluarga. Padahal HIV tidak menular melalui sentuhan, air mata, atau pelukan. Ia menular melalui kebodohan kolektif dan ketakutan massal yang tak pernah ditantang oleh pendidikan.
Satu laporan Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 60% ODHA enggan berobat karena takut identitasnya terbongkar. Inilah mengapa penyakit ini berkembang bukan karena kecepatan virusnya, tapi karena kelambanan empati kita, papar Ranny.
Meski Indonesia telah memiliki RAN (Rencana Aksi Nasional) Pengendalian HIV/AIDS, implementasinya sering tertatih karena minimnya anggaran, koordinasi yang lemah antarinstansi, dan kurangnya keterlibatan komunitas akar rumput.
Program PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis) obat pencegah HIV masih sangat terbatas jangkauannya. Padahal PrEP terbukti menurunkan risiko infeksi hingga 99%. Hingga akhir 2023, hanya sekitar 3.000 orang yang mengakses PrEP secara konsisten dari jutaan kelompok risiko tinggi. Sementara aplikasi kencan seksual tumbuh eksponensial, edukasi seks malah lenyap dari kurikulum sekolah.
Ranny menegaskan dengan suara lantang, Masyarakat kita hidup dalam paradoks kemunafikan. Seks dikecam dalam wacana, tapi diam-diam diburu di bilik privat. Pornografi diakses dari rumah, sementara anak-anak tidak pernah diajarkan perbedaan antara cinta dan eksploitasi. Kita bicara moral, tapi takut bicara seks. Kita bicara keluarga sakinah, tapi membiarkan istri yang ditulari HIV karena suami ‘jajan’ di luar, stop Kemunafikan ini, ungkapnya.
Filsuf kontemporer Indonesia menyebut fenomena ini sebagai “moralitas setengah hati” sebuah masyarakat yang mengecam dosa tapi takut memahami sebabnya.
Pemerintah, masyarakat, tokoh agama, dan media harus keluar dari kenyamanan slogan. Pertama, Strategi nyata yang harus dilakukan yakni dengan adanya edukasi Seksual sejak dini bukan tentang ajakan berbuat, tapi pemahaman tubuh dan tanggung jawab. Kedua perluasan layanan HIV Gratis & Rahasia berbasis komunitas, non-diskriminatif, dengan retensi yang kuat.
Ketiga, Dekriminalisasi dan Reformasi Hukum agar populasi kunci tidak takut mengakses layanan karena ancaman hukum. Keempat, Integrasi PrEP dan ART ke dalam layanan BPJS secara nasional.
Kelima, Kampanye Anti-Stigma Nasional seperti kampanye besar penggunaan kondom menyentuh, luas dan konsisten. pendekatan humanis oleh tokoh agama dan budaya agar dakwah dan budaya menjadi bagian dari solusi, bukan hanya vonis.
Ranny mengulang, “HIV/AIDS adalah penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh, tapi sesungguhnya ia adalah penyakit yang tumbuh dari ketidaktahuan, kesepian, dan pengabaian struktural. Virusnya tidak hanya berada dalam darah, tetapi juga dalam cara kita membiarkan saudara kita terpinggirkan dalam diam, terangnya.
Indonesia tidak akan pernah sembuh jika penyakit sosial ini terus dipandang hanya dari lensa moral, bukan dari ruang empati, ilmu pengetahuan, dan ketegasan kebijakan. Saatnya pemerintah turun tangan bukan hanya sebagai birokrasi, tapi sebagai penjaga nurani publik, tutup Ranny.
Penulis: A.S.W