Jakarta – Pernyataan Ranny Fahd A. Rafiq mengenai nasib Hong Kong di bawah kepemimpinan Xi Jinping melukiskan gambaran suram tentang akhir era “satu negara, dua sistem” dan potensi gejolak geopolitik yang lebih besar. Lebih dari sekadar transisi administratif, apa yang sedang terjadi di Hong Kong adalah cerminan ambisi Beijing untuk menyatukan wilayah tersebut sepenuhnya di bawah kendali Partai Komunis Tiongkok, dengan implikasi signifikan bagi tatanan ekonomi dan politik global, Ucap Anggota DPR RI ini di Jakarta pada Rabu, (28/5/2025).
Satu Sistem “Satu Negara, Dua Sistem” adalah Janji yang Diingkari sejak penyerahan kembali dari Inggris pada 1 Juli 1997, Hong Kong telah beroperasi di bawah prinsip “satu negara, dua sistem” yang menjamin otonomi tinggi, termasuk sistem hukum, mata uang, dan kebebasan sipilnya, hingga tahun 2047. Namun, seperti yang diungkapkan Ranny Fahd A. Rafiq, Presiden Xi Jinping kini diyakini tengah bergerak untuk membekukan status istimewa ini jauh sebelum waktunya. Jika ini terjadi, “nama Hong Kong akan hilang selamanya dari muka bumi” sebagai entitas otonom, digantikan oleh kendali penuh Beijing, ucap Ranny.
Menurut Istri dari Fahd A Rafiq langkah ini, jika terealisasi, akan menjadi bukti “kesaktian Xi Jinping sebagai pemimpin revolusioner China yang rebel,” yang berani “melawan perjanjian Deng Xiaoping dengan Ronald Reagan” serta mengakhiri perjanjian 50 tahun Hong Kong yang dibuat oleh pendahulunya. Tujuannya jelas mewujudkan “satu negara, satu sistem, yaitu komunis manifesto yang dijalankan.”
Jika ini terjadi maka konsekuensi praktis bagi Hong Kong dan Dunia Keuangan serta Implikasi dari perubahan ini sangat fundamental diantaranya:
Identitas dan Kewarganegaraan
Seluruh pemegang KTP dan paspor Hong Kong kemungkinan akan dicabut dan diganti dengan KTP dan paspor Tiongkok.
Kontrol Politik
Pemerintahan Hong Kong akan sepenuhnya dikendalikan oleh Beijing. Partai Komunis Tiongkok akan segera mengeluarkan undang-undang keamanan nasional (security law) untuk Hong Kong, yang dikhawatirkan akan membatasi kebebasan dan perbedaan pendapat.
Moneter dan Finansial
Dolar Hong Kong, yang saat ini dicetak oleh HSBC, Standard Chartered, dan Bank of China, akan dicabut dan diganti dengan Yuan Tiongkok. Ini menandai pergeseran signifikan dalam kekuatan finansial dan membatasi sirkulasi hard currency di Hong Kong.
Poin krusial yang disoroti adalah dampak pada status Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia
Dengan bergesernya kekuatan Wall Street, City of London, Frankfurt, dan Tokyo dari Hong Kong, Ranny Fahd A. Rafiq memunculkan pertanyaan baru “akan kemana pindahnya pasar modal Asia tersebut?” Spekulasi mengarah ke Mumbai atau bahkan Singapura, yang kini “lagi melobi sana-sini” untuk mendapatkan windfall ini.
Geopolitik Global dan Perang Dingin Baru
Peristiwa di Hong Kong ini, menurut Ranny Fahd A. Rafiq, harus dilihat dalam konteks “Perang Dingin Baru” yang sedang terbentuk. Barat, khususnya Amerika Serikat, pada awalnya menyambut baik penyerahan Hong Kong pada 1997 karena berasumsi Tiongkok akan menjadi negara demokrasi yang terbuka di tahun 2047, mendorong investasi besar-besaran. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya yakni “Ambisi China untuk menyebarluaskan ideologi komunis serta mendominasi secara global semakin menjadi-jadi dengan doktrin Unrestricted War.”
Gerakan demokrasi di Hong Kong pasca 23 tahun penyerahan kekuasaan adalah bentuk perlawanan terhadap pengingkaran janji ini. Bagi Beijing, Hong Kong telah menjadi “portal gerakan demokrasi di China yang akan menyebar ke seluruh provinsi di China,” dan ini adalah ancaman yang harus ditumpas. Maka dari itu pertarungan hampir disemua lini antara Tiongkok dan Amerika Serikat adalah pertarungan ideologi.
Ranny Fahd A. Rafiq memprediksi “perang akan terjadi ketika Amerika menerapkan sanksi ke China.” Sanksi ini dapat mencakup pembekuan seluruh aset finansial Tiongkok yang diterbitkan oleh pemerintah maupun swasta, serta pembekuan rekening Dolar AS di Bank Sentral Tiongkok dan Federal Reserve AS. Konsekuensinya, siapa pun yang memegang aset finansial Tiongkok dan cadangan devisa Dolar AS akan menghadapi kerugian besar. Tapi hal itu mampu diantisipasi oleh Tiongkok. Lantas bagaimana dengan Taiwan yang juga ingin di akuisisi oleh Tiongkok. Ada yang masih ingat serangan George Soros terhadap Hongkong, Tiongkok pasang badan loh.
Situasi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat kritis. “Sikap Indonesia terkait New Cold War ini sangat kritikal. Gak bisa lagi kita bebas aktif,” tegas Ranny Fahd A. Rafiq. Ia menekankan bahwa di era kepemimpinan Prabowo Subianto, Indonesia “harus ambil posisi jelas ditengah dua raksasa yang sedang bertarung sengit dan posisi itu sedang dimainkan oleh Presiden Ke 8 RI ini, jujur ini permainan Geopolitik level tinggi yang akan diperankan Ketum Partai Gerindra ini dengan catatan tidak semua kepala negara lihai memainkan perannya dipercaturan Internasional.
Pernyataan Ranny Fahd A. Rafiq ini adalah seruan bagi Indonesia untuk tidak hanya memahami kompleksitas geopolitik global, tetapi juga untuk secara proaktif merumuskan strategi nasional yang adaptif dan berdaulat di tengah perubahan lanskap kekuatan dunia. Impian untuk memiliki “Wall Street sendiri” di Indonesia seperti yang disuarakan, hal ini mungkin terdengar ambisius, tetapi mencerminkan kebutuhan fundamental akan kemandirian finansial dan kekuatan geopolitik di tengah ancaman hegemoni, tutup Ranny.
Penulis: A.S.W