Jakarta— Di tengah percaturan ekonomi global yang makin menyerupai panggung konfrontasi, suara lantang datang dari tokoh muda Nasional dan Internasional Fahd A Rafiq, Ketua Umum DPP BAPERA, Mantan Ketua Umum KNPI, Mantan Ketum Gema MKGR, Ketua Bidang Ormas DPP Partai Golkar, dan dosen aktif di Negeri Jiran. Dengan retorika yang menyengat dan data yang menohok, Fahd melihat kekurangan diplomasi ekonomi Indonesia dalam lawatannya ke Washington dalam narasi yang kini menjadi alarm keras bagi elite pemerintahan kita, Ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Jum’at (9/5/2025).
“Kami datang membawa salam, dipulangkan dengan sengatan yang perih”
Ketum DPP Bapera ini mengatakan, Kalimat pembuka ini bukan sekadar metafora. Ini adalah luka, betapa lemahnya diplomasi dagang Indonesia yang ditulis dalam angka dan sikap. Dari 32% ke 47% tarif dagang, dari niat baik menjadi daftar tuduhan, dari persahabatan menjadi medan penghakiman. Rakyat Indonesia tidak hanya dirugikan secara ekonomi, tapi juga dilecehkan dalam harga diri kebangsaan, ucapnya.
Amerika Mencium Beijing, Menyengat Jakarta
Lebih lanjut Fahd melanjutkan, “Mengapa Amerika berkedip kepada Tiongkok, tapi melotot kepada Indonesia? Ini pertanyaan Fahd yang seharusnya membangunkan kita semua dari tidur panjangnya. Ketika Tiongkok dengan kekuatan militernya, lobinya, dan intelijen ekonominya mampu menekan narasi publik AS dan memaksa kompromi, Indonesia justru datang tanpa tameng.
Tidak ada konsolidasi media global, tidak ada kontra narasi di kanal strategis seperti The Economist, New York Times, atau Bloomberg. Bahkan ketika Indonesia mencoba membela kedaulatan digitalnya lewat QRIS dan GPN, diplomasi kita gagal menjadikannya agenda global, dan malah dijadikan kambing hitam, ini tamparan keras Untuk Indonesia khususnya dalam diplomasi pedagang di Panggung Internasional.
“Meja perundingan berubah menjadi meja jagal”
Pernyataan ini bukan berlebihan. Ini adalah refleksi dari diplomasi tanpa instrumen tak ada economic intelligence, tak ada geo-economic warfare strategy, bahkan tak ada narasi nasional yang menyatu antara pemerintah, parlemen, dan swasta, ucap Fahd.
Negosiasi yang Buta di Tengah Badai
Sebagai dosen yang mengamati dinamika global dari dua perspektif akademik dan praktis Fahd menyoroti bahwa kita tengah menghadapi medan perang modern. Perdagangan bukan lagi soal selisih angka, tapi perang persepsi, sabotase simbol, dan pembentukan opini publik yang menentukan arah kebijakan negara lain.
Amerika menggempur bukan hanya neraca ekspor kita, tapi juga payment ecosystem yang menopang UKM, koperasi, dan ekonomi kerakyatan. Visa dan MasterCard dijadikan alat tekan, sementara sistem nasional kita dijadikan tumbal. Dan respons diplomasi kita? Terlambat, terbata, tertunduk, dan ini realita betapa lemahnya diplomasi ekonomi kita terhadap bangsa lain, padahal saya sudah membahas ini berulang kali beberapa tahun lalu mungkin diabaikan. Yang penting sebagai putra bangsa saya sudah memberikan informasi akan hal ini, ungkap Fahd.
Empati di Ruang Eksekusi adalah Simbol Kekalahan
Fahd dalam kapasitasnya sebagai politisi yang memahami psikologi diplomatik menyebut bahwa pendekatan empatik Indonesia justru dibaca sebagai penyerahan. Kita menjanjikan pembelian gandum dan LPG sebagai imbalan, padahal pihak lawan tidak sedang mencari sahabat, tetapi kita dijadikan target,cetusnya.
Ini adalah pelajaran untuk kita semua bahwa dalam ruang paksaan, empati hanya menjadi kelemahan. Kita perlu strategi, bukan simpati. Kita perlu serangan balik diplomatik, bukan sekadar basa-basi bilateral.
Lima Senjata Strategis untuk Melawan Ketertindasan Diplomatik
Fahd A Rafiq menawarkan bukan hanya usulan, tapi peta jalan strategis untuk mengakhiri ketertindasan ekonomi:
– Bangun intelijen ekonomi berbasis AI dan data global karena tanpa informasi kita buta
Pahami struktur kekuasaan dan persepsi publik di negara mitra karena diplomasi dimulai dari pemahaman lawan terhadap negara kita.
– Libatkan think tank diaspora dan kampus top dunia karena gagasan segar hanya lahir dari jaringan lintas batas
– Kuasai narasi di media internasional seperti BBC, Al Jazeera, CNBC, NYT karena persepsi adalah separuh kemenangan.
– Masukkan diplomasi ekonomi sebagai bagian dari sistem pertahanan nasional karena kedaulatan bukan hanya di batas geografis, tapi di dompet dan data.
Dari Simbolik ke Strategik: Saatnya Indonesia Bertindak sebagai Bangsa Besar
Indonesia bukan negara kecil. Tapi kita belum bertindak seperti negara besar. Itu inti pembicaraan Fahd. Kita terlalu sering masuk forum sebagai pendengar, bukan penentu. Kita terlalu sering pulang membawa janji, bukan hasil. “Bangsa besar tidak datang untuk dikalahkan.”
Bagi Fahd, pertemuan ini bukan akhir, tapi panggilan untuk kebangkitan, ya kebangkitan dari ketidaktahuan, dari ketidakberanian, dan dari ketidakmampuan membela diri dalam arsitektur global yang semakin kejam. Presiden Prabowo subianto telah memperingatkan ini kepada kita semua dalam banyak pidatonya yakni ekonomi global sedang tidak baik baik saja dan memasuki perang ekonomi, kita semua harus tegak lurus dan memahami dan memaknai apa yang disampaikan Presiden ke – 8 RI ini.
Fahd A Rafiq mengakui dan takjub pemahaman geopolitik dan Hubungan Internasional Presiden Prabowo Subianto itu sangat dalam terkait politik luar negeri.
Penutup: Seruan dari Ruang Kedaulatan
Di tengah gelombang globalisasi yang mengikis batas dan harga diri, suara Fahd A Rafiq berdiri sebagai simbol kesadaran Nasionalisme kita sebagai Putra bangsa. Sebagai politikus muda yang tak asing dengan diplomasi ormas, partai, maupun internasional, ia menyerukan reposisi total strategi Indonesia. Bukan hanya soal dagang. Ini soal tahta dan identitas. apakah Indonesia mau menjadi bangsa yang hanya dikenang sebagai pasar atau sebagai pemain? Dan dari ruang udara saya menyampaikan kesadaran bersama akan cinta tanah air.
Penulis: A.S.W.