Fahd A Rafiq Singgung Soal Beras, BULOG, Dan Peluang Emas Jelang Krisis Global

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

 

Fahd A Rafiq Singgung Soal Beras, BULOG, DAN Peluang Emas Jelang Krisis Global

Jakarta – Dunia sedang bergerak menuju ketidakpastian. Isu krisis global, konflik geopolitik, dan ancaman perang dunia ke-III kian menggema. Dalam pusaran itu, pangan kembali jadi sorotan utama dan di Indonesia tak ada yang lebih strategis dari beras, ucap Fahd A Rafiq di Jakarta pada Rabu, (30/4/2025).

Fahd A Rafiq, Ketua Umum DPP BAPERA, mengangkat satu isu menarik yakni “beras bukan hanya soal makan, tapi soal bertahan hidup. Dan ironisnya, justru di saat produksi petani diprediksi meningkat tajam, Perum Bulog terancam kelimpungan, ungkapnya.

Rp6.500/kg: Harga Beli, Tapi Juga Masalah

Ketum DPP KNPI ini mengatakan, “Pemerintah lewat Bulog telah mematok harga pembelian gabah sebesar Rp6.500/kg, sebuah angka yang tentu sangat menarik bagi petani. Namun, kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Pasalnya, Bulog tidak memiliki kapasitas gudang yang cukup besar, apalagi dengan teknologi penyimpanan jangka panjang, ucap Suami dari Ranny (Anggota DPR RI )

Lebih lanjut Fahd menilai, “Bulog itu lebih mirip operator lama yang dipaksa main di panggung baru,” kata Fahd. Saat gudang penuh, Bulog akan terpaksa menyewa milik swasta. Masalahnya mucul anggaran tidak tersedia secara fleksibel. Maka yang terjadi adalah akumulasi kerugian, keterlambatan distribusi, hingga potensi membusuknya gabah karena tidak segera digiling, ungkapnya.

Lebih dari itu, Bulog tidak punya fasilitas rice mill skala besar. Artinya, penggilingan akan menjadi proses mahal dan lambat. Biaya-biaya tersembunyi seperti bongkar muat, pengemasan, hingga logistik kerap luput dari perhitungan utama tapi realitasnya tetap membebani sistem, tegasnya.

Ketahanan Pangan: Negara Butuh Mitra, Bukan Beban

Fahd menyoroti satu hal yakni Bulog tidak seharusnya bekerja sendiri. Negara ini butuh sistem pangan yang kuat, dan itu berarti membuka ruang partisipasi swasta. Jika Bulog kewalahan, maka pertanyaannya bukan “kenapa”, tapi “siapa yang bisa bantu?”, ungkapnya.

Dan di situlah peluang besar terbuka. Bagaimana jika kita siapkan gudang? Bagaimana jika kita bangun penggilingan? Bagaimana jika kita kelola distribusi beras modern dengan efisien?, ujar Mantan Ketum Gema MKGR ini.

Dari Padi Lokal ke Pasar Global

Harga beras dunia menjadi indikator menarik. Di Filipina, harga beras berada di kisaran Rp11.000 – Rp25.000/kg. Jepang Bisa mencapai Rp85.000/kg. Di Amerika dan Tiongkok, harga beras tak kalah tinggi. Ini artinya, Indonesia punya potensi ekspor selama kualitas berasnya terjaga dan infrastrukturnya memadai, ucap pengusaha muda yang pro swasta ini.

“Kalau Bulog tidak bisa serap gabah di harga Rp6.500, ya kita saja yang ambil,” ujar Fahd. “Ambil gabah berkualitas, giling dengan rice mill modern, lalu ekspor ke negara yang butuh.”

Sebuah ide yang dalam banyak hal sangat masuk akal. Dan dalam kondisi global yang makin tak pasti, pangan bukan cuma soal perut rakyat, tapi lebih dari itu ini urusan diplomasi dan pertahanan, tegasnya

Narasi ini bukan ajakan panik, tapi seruan cerdas. Jika kita hanya menunggu pemerintah, kita akan tertinggal. Tapi jika swasta, koperasi, dan petani mau bergandengan tangan, maka padi bukan hanya penyelamat krisis, tapi motor ekonomi baru. Peluangnya besar. Tantangannya nyata. Tinggal satu pertanyaan penting siapa yang berani gas duluan, tutup dosen yang mengajar di Negeri Jiran Malaysia ini.

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita