Ranny Fahd A Rafiq : Indonesia dalam Pusaran Sejarah dan Geopolitik Menyambung Jejak dari Zaman Kerajaan, VOC hingga Orde Baru

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

 

 

Jakarta – Sejarah adalah jalan panjang yang tidak hanya mencerminkan masa lalu, tapi juga memberi arah masa depan. Hal ini disampaikan secara gamblang oleh Anggota DPR RI Komisi IX, Ranny Fahd A Rafiq, dalam diskusi ringan yang berlangsung di Jakarta, Jumat (25/4/2025). Dalam paparannya, Ranny membawa audiens menyusuri lintasan sejarah Indonesia dari masa kejayaan kerajaan Nusantara, kolonialisme VOC, nasionalisasi pascakemerdekaan, hingga dinamika geopolitik global antara Tiongkok dan Amerika Serikat dewasa ini.

 

 

Bukan tanpa alasan, Ranny menyebut bahwa “Indonesia adalah ladang strategis yang sejak awal kemerdekaannya sudah jadi rebutan dua kekuatan dunia.” Ia menyatakan bahwa tarik ulur pengaruh ideologi antara blok barat (demokrasi liberal) dan blok timur (komunisme) telah membentuk arah kebijakan luar negeri Indonesia sejak proklamasi hingga kini. “Sejak Orde Baru, dominasi Amerika Serikat sangat terasa. Tapi dalam satu dekade terakhir sebelum Presiden Prabowo Subianto, Indonesia mulai condong ke Tiongkok untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur, dan ke Amerika untuk dukungan finansial,” ujarnya.

 

 

Strategi Dua Kaki: Di Antara Beijing dan Washington

 

Paparan Ranny menunjukkan dengan jelas bahwa Indonesia selama ini menerapkan pendekatan strategis dua kaki—bermitra dengan Tiongkok secara ekonomi dan dengan Amerika secara geopolitik. “Amerika menawarkan jaminan keamanan, aliansi internasional, dan teknologi persenjataan melalui pendekatan militer. Sebaliknya, Tiongkok menyodorkan investasi infrastruktur, pinjaman, pertukaran budaya dan pendidikan melalui pendekatan ekonomi,”. Bagaimana dengan era Presiden Prabowo dengan BRICS nya? ungkapnya.

 

Namun, di balik itu semua, Ranny mengingatkan bahwa Indonesia bukan hanya objek, tapi seharusnya menjadi subjek dalam percaturan global. “Kita harus tahu kapan membuka peluang dan kapan menetapkan batas. Karena pada akhirnya, semua kebijakan luar negeri bergantung pada siapa penguasa dalam negeri yang mengambil keputusan.”

 

Masalah Utama: Bukan dari Luar, Tapi dari Dalam

 

Yang menarik, Ranny tidak menutup mata terhadap ancaman domestik. “Ancaman terbesar Indonesia bukan dari luar, tapi dari dalam—dari kesulitan mempersatukan 1.300 suku bangsa, 700 bahasa, dan 18.336 pulau,” jelasnya.

Ia menekankan bahwa kompleksitas ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan. “Dalam 100 tahun terakhir saja, lebih dari 100 kerajaan kecil pernah berdiri di Indonesia. Mempertahankan kesatuan nasional adalah tantangan abadi bangsa ini.”

 

Warisan Sejarah: Sriwijaya, Majapahit, dan VOC

 

Ranny menuturkan bahwa kekuatan geopolitik Indonesia sudah tampak sejak abad ke-4, ketika wilayah Nusantara menjadi titik pertemuan perdagangan India, Timur Tengah, dan Tiongkok. “Kerajaan Sriwijaya, Kediri, Kesultanan Malaka, hingga Majapahit adalah cerminan betapa besarnya potensi Nusantara,” katanya.

 

Namun semua berubah ketika VOC masuk pada abad ke-16. Awalnya datang sebagai pedagang, VOC berubah menjadi penguasa. “Dalam 200 tahun, mereka mengangkut lebih dari 25 juta ton rempah senilai 2,5 triliun dolar AS dalam nilai sekarang. Namun karena korupsi, VOC bangkrut dan wilayah Indonesia pun diambil alih Kerajaan Belanda,” ungkap Ranny.

Menurutnya, Belanda menjadikan Indonesia sebagai sumber industrialisasi, mengubah kekayaan alam Nusantara menjadi mesin ekonomi bagi negaranya.

 

Nasionalisasi Aset dan Kegagalan Ekonomi Era Soekarno

 

Ranny juga menyentil masa awal kemerdekaan. Setelah Perang Dunia II, Indonesia berani merebut kembali wilayah dan menasionalisasi 246 perusahaan Belanda seperti NHM, Escompto Bank, hingga Royal Dutch Shell. Namun, kebanggaan ini tidak diiringi dengan kesiapan ekonomi.

“Soekarno terlalu fokus pada peran internasional Indonesia. Akibatnya, inflasi tinggi, distribusi buruk, dan kebutuhan pokok langka. Pembangunan dalam negeri diabaikan,” katanya.

 

Orde Baru dan Kebangkitan Ekonomi ala Geng Barkeley

 

Kondisi itu berujung pada pergantian kekuasaan yang berdarah. Sekitar 500 ribu korban jatuh akibat pemberantasan PKI. Militer mengambil alih dan Soeharto memulai Orde Baru pada 1968 (fokus membangun ekonomi).

 

“Ekonomi dikelola oleh para ekonom Geng Barkeley yang mengusung pasar bebas dan kapitalisme. Fokusnya jelas menurunkan inflasi dan menstabilkan negara,” ungkap Ranny.

Namun, ia menantang publik dan bertanya “Apakah benar inflasi turun? Apakah Amerika terlibat dalam menjatuhkan Soekarno? Apakah mereka juga mengendalikan kebijakan Orde Baru?”. Kita lanjutkan di sesi selanjutnya.

 

Menatap Masa Depan: Indonesia Emas 2045

 

Dalam penutupnya, Ranny menekankan pentingnya pemahaman sejarah, bukan hanya penghafalan peristiwa. “Jika kita ingin menggapai Indonesia Emas 2045, kita harus paham jalan panjang yang telah kita lalui. Karena sejarah bukan sekadar cerita lama, tapi kompas bagi masa depan.”

Paparan ini menjadi semacam tamparan halus sekaligus ajakan terbuka bagi generasi muda untuk tidak sekadar menjadi penonton sejarah, tapi juga pemain utama dalam menentukan arah bangsa.

 

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita