Jakarta– Di tengah gemuruh sorak sorai pembangunan dan klaim transformasi, dunia kesehatan Indonesia ternyata jauh dari kata baik-baik saja. Pernyataan dari Ranny Fahd A Rafiq menyuarakan keprihatinan mendalam tentang kondisi sektor kesehatan nasional, mulai dari isu vaksin hingga polemik kebijakan Menteri Kesehatan, memicu pertanyaan krusial Sejauh mana kita memahami esensi transformasi kesehatan dan apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat Indonesia? Ucap, Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (26/5/2025).
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, “Ingatan kolektif masyarakat Indonesia terhadap masa kelam vaksin COVID kembali terkuak dengan rencana uji coba vaksin TBC Bill Gates di Indonesia dan Afrika. Narasi “kelinci percobaan” yang muncul di benak publik bukanlah isapan jempol semata, ungkapnya.
Lebih lanjut anggota banggar DPR RI ini menjabarkan, “pengalaman pembatasan akses vital (mal, pesawat, kereta) bagi mereka yang tidak divaksin menciptakan trauma dan kecurigaan. Ranny mempertanyakan urgensi vaksinasi massal dibandingkan upaya preventif, seperti pola hidup sehat, konsumsi suplemen, dan vitamin. “Lebih mudah beli vaksin dan dipaksakan ke masyarakat. Cuannya lebih gampang didapatnya,” sindirnya, menyoroti motif ekonomi di balik kebijakan kesehatan. Ini pola lama yang ingin dimainkan kembali, ungkap Ranny.
Perbandingan Indonesia dengan Afrika dalam konteks uji coba vaksin TBC ini semakin memperkuat anggapan bahwa Indonesia dianggap sebagai “pasar” atau “laboratorium” bagi kepentingan pihak luar, alih-alih sebagai subjek yang berdaulat dalam menentukan kebijakan kesehatannya sendiri. Pertanyaan “Mau dikurangi apa jumlah penduduk di Indonesia? mau dimandulkan? atau ada agenda pengurangan populasi? Hal ini mencerminkan kecemasan mendalam akan agenda tersembunyi di balik program vaksinasi, tanya ranny dengan nada curiga, ini harus di ungkap ke publik segera, ada apa ini semua?
Pusaran masalah utama menurut Ranny terletak pada kepemimpinan di Kementerian Kesehatan. Tuduhan “mengkhianati dunia kesehatan nasional” yang dilontarkan oleh tenaga kesehatan dan akademisi bukanlah tanpa dasar. Sumpah Hipokrates yang diikrarkan para dokter “membaktikan hidupnya hanya untuk kepentingan kemanusiaan” seolah diinjak – injak ketika sosok yang seharusnya melindungi profesi dokter justru menyudutkan dan mendiskreditkan mereka. Ranny melihat kritik ini sebuah masukan yang harus ditanggapi dengan kepala dingin dan bijaksana.
“Merusak kepercayaan dan kehormatan dokter Indonesia di muka rakyat Indonesia,” khususnya pasca terjadi kasus Bullying dan pemerasan yang menimpa beberapa calon dokter karena sistem lama yang menzalimi masih diterapkan di dunia pendidikan kedokteran di Indonesia berlanjut ke kasus oknum dokter cabul yang sempat viral sebulan yang lalu. Yang salah bukan profesinya tapi manusianya. Ingat profesi dokter kata benda, ucap Ranny.
Keprihatinan ini tidak hanya muncul dari segelintir individu, melainkan menggema dari berbagai penjuru, mulai dari Dewan Guru Besar UGM, Dekan FK UNPAD, Aksi Doa Bersama di Unhas, hingga Salemba Berseru, yang puncaknya adalah surat terbuka 158 guru besar Fakultas Kedokteran UI kepada Presiden Prabowo. Ada apa ini ? Tanya Ranny.
Ada kesalahan penafsiran Menteri Kesehatan soal transformasi yang keliru. “Di mata beliau transformasi adalah transformasi fisik bukan transformasi manusia.” Pembangunan rumah sakit vertikal baru di Surabaya, Makassar, Papua, dan IKN yang masing-masing menelan biaya Rp 2 triliun (total Rp 8 triliun), ditambah pembelian 10.000 USG dan rencana CatLab untuk 514 kabupaten/kota, terkesan heroik dan mengatasnamakan keadilan. Namun, apakah ini yang sebenarnya dibutuhkan?
Usulan tajam muncul dari 158 guru besar UI ketika kebijakan ini dipertanyakan dari sudut pandang profesional dan ahli kesehatan. Setiap daerah di Indonesia memiliki demografi penyakit yang berbeda. Papua, misalnya, memiliki kasus ISPA, malaria, TBC, HIV/AIDS, dan stunting yang tinggi, sementara kota besar seperti Jakarta didominasi penyakit metabolik. “Lantas apakah bijak jika Menkes menjawab masalah di Papua? Solusinya adalah membangun rumah sakit vertikal berharga 2 triliun?”.
Fakta ironis lain adalah utilitas alat USG yang sudah terlanjur dibeli untuk puskesmas banyak yang tidak berfungsi atau rusak karena tenaga kesehatan tidak tahu cara merawatnya. Ini menunjukkan bahwa pembelian alat canggih tanpa diimbangi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan infrastruktur pendukung adalah pemborosan belaka, keluh Ranny.
Yang lebih mencengangkan, seluruh dana pembelian alat kesehatan, mesin, dan pembangunan rumah sakit ini menggunakan dana pinjaman sebesar Rp 61 triliun dari Bank Dunia, yang harus mulai dicicil pada tahun 2027. Alih-alih perubahan manusia dan kolaborasi dengan tenaga kesehatan serta akademisi, menurut Ranny suara ini mesti ditampung dan ada sembilan pertanyaan harus di jawab yaitu:
– Apakah rakyat Indonesia sekarang semakin sehat?
– Apakah life expectancy di Indonesia makin baik?
– Apakah Human Development Index di Indonesia meningkat?
– Apakah angka stunting, TBC, HIV menurun?
– Apakah angka kematian ibu dan anak turun?
– Apakah angka mortalitas akibat penyakit jantung, kanker, stroke turun akibat pendirian rumah sakit vertikal dan pembelian alat?
– Apakah kemampuan IPTEK dokter kita sudah sejajar dengan dokter di negara maju?
– Apakah kita sudah bisa memiliki kemandirian akan obat dan alat kesehatan?
– Apakah semua obat yang dibutuhkan masyarakat Indonesia sudah tersedia dan semua ditanggung BPJS Kesehatan?
Ranny menambahkan semua ini adalah pertanyaan dasar yang jawabannya belum keluarkan dalam transformasi kesehatan yang dilakukannya,” demikian kesimpulan dari Ranny.
Solusi
Kita cinta dengan Indonesia, mengkritisi bukan berarti tidak senang, jangan salah sangka dulu. Saya selalu memberikan solusi jika ingin digunakan oleh para pengambil kebijakan khususnya di bidang kesehatan.
Dengan membangun kembali kepercayaan dan kolaborasi Analisis ini menyiratkan bahwa masalah kesehatan di Indonesia saat ini berakar pada arah kebijakan pemimpin tertinggi sektor kesehatan yang keliru, yang tidak menghargai para pendidik kesehatan dan tenaga kesehatan.
Mengutip Presiden Prabowo, “ikan busuk dari kepalanya,” menunjukkan bahwa perbaikan harus dimulai dari puncak kepemimpinan. Jadi maksudnya disini pemimpin tertinggi bidang kesehatan harus segera evaluasi kebijakan dimana langkah dan kebijakannya yang keliru.
Dunia kesehatan harus bergeser bukan hanya fokus fisik semata akan tetapi menjadi transformasi manusia. Ini berarti investasi pada peningkatan kualitas tenaga kesehatan, pendidikan kedokteran, riset, dan pengembangan teknologi kesehatan lokal. Membangun fisik itu penting memang di Indonesia masih kekurangan puskesmas dan tenaga medis. Tapi bisa di kolaborasi dengan ide ide dan masukan yang ada.
Ranny memaparkan secara detail membangun kembali Kolaboras itu penting untuk mengakhiri “perang” dengan tenaga kesehatan dan akademisi. Menteri Kesehatan harus membuka ruang dialog yang inklusif, menghargai masukan, dan membangun kembali kepercayaan melalui mutual respect, ungkapnya.
Kebijakan Berbasis Data dan Kebutuhan Lokal
Alokasi anggaran dan pembangunan fasilitas kesehatan harus disesuaikan dengan demografi penyakit dan kebutuhan spesifik setiap daerah. Libatkan ahli epidemiologi, sosiolog, dan tenaga kesehatan lokal dalam perumusan kebijakan.
Harus prioritaskan preventif dan promotif jangan hanya terpaku pada kuratif (pengobatan) seperti edukasi kesehatan, gizi seimbang, dan pola hidup sehat, yang terbukti lebih efektif dan berkelanjutan.
Selanjutnya Ranny melihat diadakan audit menyeluruh atas proyek dan pembelian terhadap proyek pembangunan rumah sakit vertikal dan pembelian alat kesehatan yang telah dilakukan. Evaluasi utilitas, pemeliharaan, dan efektivitas biaya untuk mencegah pemborosan lebih lanjut. Agar publik tidak bertanya tanya dan berburuk sangka akan pembelian yang telah dilakukan oleh Kementrian Kesehatan.
Perlu adanya penguatan sistem jaminan kesehatan
Pastikan ketersediaan obat esensial dan cakupan BPJS Kesehatan yang memadai, sehingga masyarakat tidak terbebani biaya pengobatan.
Sekali lagi transparansi dan akuntabilitas
Seluruh proses pengambilan keputusan, pengadaan barang, dan alokasi anggaran harus dilakukan secara transparan dan akuntabel kepada publik.
Ranny mendalami dunia kesehatan Indonesia memang jauh dari kata baik-baik saja. Namun, dengan kepemimpinan yang bijak, kolaborasi yang kuat, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat, mimpi akan kesehatan yang merata dan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia masih bisa diwujudkan. Ini adalah saatnya untuk bergerak dari sekadar proyek fisik menuju transformasi sejati yang menyentuh hati dan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia, pungkas Istri dari Fahd A Rafiq ini.
Jadi, antara pembangunan fisik, kualitas dan kuantitas tenaga medis di Indonesia masih menjadi problem dunia kesehatan Indonesia, jadi mari kita berkolaborasi untuk dunia kesehatan Indonesia yang lebih baik, tutupnya.
Penulis: A.S.W