Dan ketika para korban bersuara, negara dan sistem tampak ragu menanggapi. Laporan demi laporan masuk ke DPR, ke KKI, bahkan ke Komnas Perempuan. Tapi sejauh ini, yang terdengar hanyalah gema laporan, belum gema keadilan
Ranny Fahd A Rafiq
(Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar)
Jakarta – Di balik tembok putih rumah-rumah sakit negeri ini, tempat di mana harapan seharusnya tumbuh dan nyawa dijaga dengan penuh dedikasi, terselip cerita getir tentang anak-anak yang merintih, ibu yang kehilangan masa depan, dan tubuh yang rusak oleh tangan yang seharusnya menyembuhkan, Ucap Ranny Fahd A Rafiq di Jakarta pada Senin, (30/6/2026).
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar ini mengatakan, “Di ruang yang seharusnya penuh profesionalisme dan etika, justru menyelinap senyap kecemasan tentang malapraktik, sebuah ironi di negeri yang menjunjung sumpah Hippokrates, namun kadang lupa mengeja kemanusiaan, ungkap Ranny.
Anggota DPR RI Komisi IX ini memaparkan kasus Malapraktik “Akhir tahun 2024 Balita berinisial J belum genap satu tahun ketika tubuh mungilnya menjadi ladang eksperimen prosedur medis yang diduga keliru. Adam Harits, ayah J, hanya ingin mencari jawaban dari gejala sederhana, sang anak tak mau makan MPASI. Tapi jawaban itu, alih-alih menenangkan, justru mengantar anaknya ke meja operasi, endoskopi, dan ruang intensif PICU, tegasnya.
Pemeriksaan yang mestinya mengutamakan kehati-hatian justru diputuskan hanya dari balik meja, tanpa sentuhan, tanpa empati, hanya dengan sorotan layar hasil THT. Prosedur endoskopi yang seharusnya menyelamatkan, malah berujung pada dilatasi usus yang tidak pernah diinformasikan, tegas Ranny yang mendengar dan memahami dari sudut pandang pasien.
Dan tubuh J tak sanggup lagi menahan, akhirnya ususnya bocor. Sepsis menjalar, jantungnya melemah, paru-paru dan ginjal gagal menjalankan tugasnya. Di tengah rintih anaknya, Adam hanya bisa berharap waktu tak benar-benar menjadi musuh terakhir. Namun waktu terus melaju, dan dokter P sosok yang menyandang gelar profesor baru datang setelah J tergeletak di PICU. Sebuah jeda kehadiran yang dalam dunia medis bisa menjadi selisih antara hidup dan mati.
Cerita kelam tak berhenti pada J. Seorang ibu muda berinisial FF harus menerima kenyataan bahwa dirinya tak akan bisa lagi mengandung anak. Bukan karena penyakit, bukan karena takdir, tapi karena sebuah keputusan bedah yang diduga salah mengangkat saluran tuba.
Ironisnya, janin pertamanya masih berdetak, masih hidup. Tapi takdirnya dibunuh oleh ketergesaan, oleh arogansi medis yang memaksa operasi tanpa waktu untuk berpikir, bahkan menawarkan diskon jika operasi dilakukan sekarang juga. Seakan nyawa dan masa depan bisa dinegosiasikan dengan potongan harga, papar Ranny dengan nada prihatin.
Sekali lagi tidak untuk menghakimi, tapi ini realita di dunia kesehatan Indonesia, kalau seperti ini terus kepercayaan masyarakat kepada tenaga medis di bumi Nusantarq menurun dan akhirnya mencari pengobatan alternatif ke luar negeri. Jika berobat keluar negeri artinya devisa pergi keluar bukan berputar di dalam, papar Ranny.
Lebih lanjut Ranny mendengar juga, Dua jarum suntik tertinggal di dalam anus pasien setelah operasi wasir. Lengan seorang pasien demam berdarah membiru dan membengkak akibat salah suntik. Seorang ibu lumpuh pasca caesar karena kelalaian dan diagnosa yang menyesatkan. Semua kasus ini punya benang merah yang sama yakni kelalaian yang dibungkus kata “risiko medis,” dan sistem yang memberi celah pada impunitas.
Dan ketika para korban bersuara, negara dan sistem tampak ragu menanggapi. Laporan demi laporan masuk ke DPR, ke KKI, bahkan ke Komnas Perempuan. Tapi sejauh ini yang terdengar hanyalah gema laporan, belum gema keadilan, tegas Ranny.
Di dalam buku-buku filsafat kedokteran, profesi dokter disebut sebagai gabungan antara seni dan ilmu, antara empati dan akurasi. Namun yang terjadi hari ini adalah paradoks, ketika teknologi medis makin canggih, tapi kepekaan nurani justru makin menipis. Ketika dokter tak lagi menyentuh pasiennya, bahkan tak memberikan ruang untuk bertanya atau menunda, maka sains telah kehilangan sisi manusianya, dari sini kita harus menyesuaikan zaman dengan kemanusiaan, tegas Ranny.
Kesehatan seharusnya menjadi hak asasi, bukan ladang kapitalisasi atau peragaan otoritas mutlak seorang profesional. Ketika ketakutan akan asuransi lebih diprioritaskan ketimbang kondisi anak, maka kita patut bertanya siapa yang sebenarnya dirawat pasien atau sistem?, ungkap Ranny.
Kasus J, FF, Gladys, Faris, dan Vanny hanyalah puncak dari gunung es yang mengintai di balik megahnya bangunan rumah sakit modern. Mereka adalah alarm yang tak bisa diabaikan lagi. Indonesia bukan hanya butuh dokter yang pintar, tapi juga dokter yang rendah hati dan berani bertanggung jawab. Negara bukan hanya butuh sistem pengawasan, tapi sistem yang berani memberikan sanksi tegas, Masyarakat jangan terus di jadikan korban.
Kini, masyarakat menunggu bukan hanya keputusan Majelis Disiplin Profesi, tapi keputusan etis seluruh dunia medis. Apakah akan tetap menutup mata dan berdiri di balik tameng “risiko medis”? Atau mengakui bahwa keangkuhan bisa berujung pada hilangnya nyawa dan harapan?, tegas Istri dari Fahd A Rafiq ini.
Ketika ilmu tak lagi digerakkan oleh nurani, maka ia menjadi senjata yang melukai, bukan menyembuhkan. Ketika manusia kehilangan empati, maka profesi setinggi dokter sekalipun akan menjadi sia-sia.
Dan di tengah semua ini, anak-anak menangis, ibu-ibu menatap kosong, dan para ayah hanya bisa bertanya-tanya bagaimana bisa tempat yang seharusnya menyembuhkan justru menjadi tempat luka itu dimulai? Ini sebuah ironi di mata Pasien.
Sudah saatnya sistem kesehatan kita dipulihkan, bukan hanya tubuh pasien, tapi juga moral para pelayannya. “Karena dalam dunia medis, kegagalan menyelamatkan bisa dimengerti. Tapi kegagalan untuk peduli, tak pernah bisa dimaafkan.”, papar Ranny.
Kesimpulan
Dalam hal ini Ranny menyimpulkan, ditengah impian setiap pasien untuk pulih, ada kenyataan pahit yang kerap luput dari sorotan, malapraktik bukan sekadar kesalahan medis, melainkan luka batin yang tak selalu bisa diobati. Ketika dua jarum tertinggal di dalam tubuh, ketika rahim seorang ibu diangkat tanpa kejelasan, ketika anak kecil kehilangan masa depan karena salah prosedur, maka yang rusak bukan hanya tubuh tapi juga rasa percaya.
Lembaga sekelas DPR RI kini mulai menerima dan menampung jeritan korban. Namun, sampai keadilan benar-benar ditegakkan, semua pengakuan dan janji akan tetap menggantung di udara. Sementara itu, korban-korban malapraktik harus terus menjalani hidup dengan tubuh yang tak lagi utuh, jiwa yang retak, dan pertanyaan yang tak pernah dijawab. “Mengapa kami harus menanggung kesalahan yang bukan kami buat?”
Hukum dan sistem kesehatan semestinya berdiri sebagai pagar pengaman terakhir bagi rakyatnya. Tapi ketika Undang-Undang yang baru justru menguatkan sentralisasi tanpa jaminan transparansi, maka publik akan bertanya: apakah kesehatan rakyat masih menjadi panglima, atau justru dikorbankan demi menjaga nama institusi?
Di sinilah titik nadir kita sebagai bangsa diuji, Apakah kita memilih untuk menutup mata demi kenyamanan segelintir orang berbaju putih?
Atau berani membuka luka, agar keadilan benar-benar menemukan jalannya?
Karena di balik setiap laporan, ada tangisan ibu yang tak terdengar.
Di balik setiap berita, ada nyawa yang terluka. Dan di balik setiap “risiko medis”, ada manusia yang menunggu pengakuan bukan sekadar permintaan maaf, tapi tanggung jawab. Ini bukan sekadar soal malapraktik. Ini soal kemanusiaan.
Dan tak ada profesi, sekuat apa pun ilmunya yang pantas berdiri di atas penderitaan yang dibungkam, tutupnya.
Penulis: A.S.W