Jakarta – Di tengah gemuruh klakson dan spanduk yang membentang di jalan-jalan ibu kota pada 20 Mei 2025, ribuan pengemudi ojek online (ojol) turun ke jalan. Isu klasik kembali mengemuka: potongan aplikator yang mencekik, pendapatan yang tak cukup untuk sekadar bertahan hidup, dan ketimpangan yang terus melebar antara perusahaan teknologi raksasa dan mereka yang menggerakkan roda di lapangan.
Namun di balik gelombang protes itu, muncul suara dari parlemen yang membawa pendekatan lebih struktural dan berbasis data. Ranny Fahd A Rafiq, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, menyoroti tidak hanya soal keresahan pengemudi, tapi juga besarnya perputaran uang yang tercipta dari ekosistem ojol dan betapa tidak adilnya distribusi nilai ekonomi tersebut,dan ini SADIS, ungkap Ranny.
“Kita sedang bicara industri bernilai triliunan rupiah, dengan kontribusi sekitar 1 hingga 2 persen terhadap PDB nasional. Tapi realitas di jalanan pengemudinya banyak yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasar. Ini ironi yang tak boleh kita abaikan,” ujar Ranny dalam pernyataan resminya pada Rabu (21/5/2025).
Data yang dipaparkan Ranny tak main-main. Nilai transaksi ojol dan layanan food delivery di Indonesia pada 2024 diperkirakan mencapai Rp141,9 triliun. Namun, dari angka fantastis ini, potongan yang diambil aplikator bisa mencapai 20% hingga lebih dari 30%, jauh di atas ketentuan awal sebesar 15%, terangny.
Ranny juga mengutip riset dari ITB (2023) yang menyebut bahwa sektor ride-hailing dan pengantaran daring menyumbang Rp382,62 triliun atau sekitar 2% dari total PDB Indonesia. Bahkan, klaim Grab melalui studi Oxford Economics (2024) menunjukkan kontribusi mereka sendiri bisa mencapai Rp191,31 triliun, atau hampir 1% dari PDB.
Lalu ke mana semua uang itu mengalir? Sebagian besar, menurut Ranny, kembali ke aplikator dalam bentuk margin dan pengembangan infrastruktur digital. Yang tersisa untuk pengemudi ujung tombak ekosistem justru kian menyusut, ini yang disebut Keserakahan terstruktural.
Dalam survei yang dikutip dari Kementerian Perhubungan, penghasilan kotor harian pengemudi ojol rata-rata Rp168.000. Jika diasumsikan bekerja 24 hari dalam sebulan, penghasilan mereka mencapai sekitar Rp3,9 juta per bulan. Namun setelah dikurangi biaya bensin, perawatan kendaraan, cicilan, dan potongan platform, banyak dari mereka justru pulang tanpa sisa.
“Bahkan ada yang melaporkan pendapatan harian nol rupiah. Bagaimana bisa sebuah sektor yang menyumbang triliunan rupiah terhadap ekonomi nasional masih meninggalkan pengemudi dalam kondisi semacam ini?” tegas Ranny, yang juga anggota Banggar DPR RI.
Ranny menilai, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah yang lebih konkret dan adil dalam meregulasi hubungan antara aplikator dan mitra pengemudi. Selama ini, kebijakan lebih banyak berpihak pada model bisnis aplikator yang bebas menetapkan skema potongan dan insentif tanpa transparansi yang jelas.
“Kalau kita hitung kontribusi dari ekosistem GoTo saja (Gojek dan Tokopedia), nilainya bisa mencapai Rp428 triliun pada 2022, setara 1,8%–2,2% PDB Indonesia. Maka, tidak berlebihan jika kita menuntut agar kesejahteraan para pengemudi ini menjadi prioritas nasional,” papar Ranny.
Demo 20 Mei 2025 itu Tanda Bahaya yang Terabaikan
Aksi unjuk rasa ojol pada 20 Mei 2025 tidak boleh dipandang sebagai sekadar keresahan ekonomi sesaat. Itu adalah peringatan keras tentang bagaimana ketimpangan dalam ekonomi digital bisa meledak menjadi gejolak sosial. Ketika para pekerja lapangan merasa semakin tersingkir dari nilai ekonomi yang mereka hasilkan, maka yang terjadi adalah delegitimasi ekosistem itu sendiri.
“Jika negara abai, dan aplikator tetap mempertahankan pola ekstraktif, maka bukan tidak mungkin kita melihat krisis kepercayaan yang lebih besar di sektor ini,” ujar Ranny, mengingatkan.
Ranny mendorong agar pemerintah segera menyusun regulasi “revenue sharing” yang adil, transparansi algoritma, dan perlindungan sosial formal bagi pengemudi ojol. Ia juga menyarankan agar kontribusi PDB sektor digital dijadikan basis kebijakan fiskal, termasuk skema pajak khusus yang dapat direalokasikan untuk subsidi atau jaminan sosial bagi mitra pengemudi.
“Kalau ekonomi digital ini menyumbang 2% dari PDB, maka setidaknya 0,5% dari itu bisa kita investasikan kembali untuk melindungi pekerjanya. Jangan sampai digitalisasi jadi wajah baru dari eksploitasi,” tutupnya.
Penulis: A.S.W