Home BURUH

Ranny Fahd A Rafiq: Hijrah Ke Negara Lain, Mereka Bukan Pengkhianat, Yang Pergi Justru Ingin Bertahan

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Jakarta—Di negeri yang katanya subur ini, bukan hanya biji-biji gandum yang tumbuh. Ada juga benih-benih pikiran yang dulu pernah ditanam dengan semangat Soekarno, disiram air idealisme, dan disinari cahaya nasionalisme. Tapi satu per satu, pohon-pohon pikiran itu tercabut. Bukan karena tanahnya tandus, tapi karena langitnya tak lagi memberi arah, Ucap Ranny Fahd Fahd A Rafiq di Jakarta pada Rabu, (2/7/2025).

 

 

Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar mengatakan, “hari ini menurut data dari Kementrian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) ada sekitar 1,7 juta job order menunggu di luar negeri. Angka yang sekilas memberi harapan, namun juga menyiratkan ironi. Mengapa begitu banyak anak bangsa justru melihat ‘tanah asing’ sebagai ruang hijrah bukan hanya fisik, tetapi intelektual?, ungkap Ranny.

 

Gambar Ilustrasi: Sebelum keberangkatan WNI yang ingin Hijrah keluar negeri 

 

Lebih dalam Ranny menekankan, mereka bukan karena benci negeri ini.Tapi karena mencintai terlalu dalam, hingga sakit melihat bangsa ini lebih menghargai selebgram dari pada saintisnya sendiri. Belum lagi banyak yang mengatakan di negara orang lebih di hargai dari pada dinegeri sendiri, ini sebuah ironi. Disisi lain mereka dianggap sebagai pahlawan devisa.

 

Lebih dalam anggota Banggar DPR RI menengok kembali sejarah, sejak dahulu ‘hijrah’ bukanlah bentuk pengkhianatan. Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan Mekkah karena membenci Ka’bah. Ia hijrah ke Madinah karena di sanalah risalah bisa tumbuh, paparnya.

 

Di kasus yang sama, hari ini, putra putri Indonesia hijrah bukan karena membenci Ibu Pertiwi, tapi karena di tanah sendiri, pikiran mereka dikerdilkan oleh birokrasi, politik transaksional, dan ekosistem yang menganggap riset sebagai beban, bukan investasi.

 

Seperti halnya Jerman pasca Perang Dunia II yang menyaksikan para ilmuwannya ‘dibajak’ oleh Amerika dalam proyek Paperclip, Indonesia hari ini menyaksikan versi senyap dari tragedi yang sama yakni”brain drain”. Ilmuwan, teknokrat, insinyur, bahkan seniman berkelas memilih untuk mekar di negeri orang, ungkap istri dari Fahd A Rafiq ini

 

Negara maju bukan hanya menjanjikan gaji besar. Mereka menyediakan ruang berpikir seperti L

laboratorium modern, pendanaan riset berkelanjutan, sistem meritokrasi, dan penghargaan intelektual yang tak sekadar simbolik itulah alasan utama. Di Indonesia? Bahkan paten pun belum tentu diakui. Banyak inovasi anak negeri justru dibeli murah oleh negara-negara seperti Amerika Serikat. Ironis, bukan? Ya, Ini Realita.

 

Di luar negeri, jenjang karier jelas. Progresmu ditentukan oleh hasil, bukan relasi. Di sini, jabatan ilmiah bisa kalah oleh gelar kehormatan dari universitas bayangan.

 

Gambar Ilustrasi  TKI Ilegal yang mengendap ngendap ingin mencari kehidupan layak di negara lain 

Negara-negara tujuan bukan hanya memberi bayaran lebih baik. Mereka menghormati pikiran sebagai aset negara. Sedang di sini, kita lebih tahu siapa pacar seleb TikTok dari pada siapa penemu biosolar atau pengembang kecerdasan buatan. Tentu, tidak semua pergi. Ada yang memilih tetap tinggal. Kami mencatat tiga alasan utama:

 

Cinta Tanah Air: Mereka percaya, bangsa ini masih bisa dibenahi. Bahwa perubahan bukan datang dari luar, tapi dari tangan-tangan karya putra putri Indonesia sendiri.

 

Kultur dan Keluarga: Karena rasa memiliki dan keterikatan emosional yang tak bisa diukur dengan dolar atau euro.

 

Optimisme Terhadap Perubahan: Ada yang melihat geliat startup lokal, program pemerintah seperti Brain Gain, dan berkembangnya skema dana riset sebagai harapan, walau masih jauh dari ideal.

 

Dilain sisi, Soekarno pernah berkata:

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri.” tapi

Ia tak menyuruh semua orang bekerja di dalam negeri, tapi ia menanamkan harga diri sebagai pondasi. Hari ini, kita harus jujur bertanya ? Apakah kita benar-benar berdiri di atas kaki sendiri, atau justru menjadi penonton di pasar global, bahkan kuli digital dari algoritma asing?

 

Di sisi lain, ada fenomena pekerja ilegal di Kamboja, Laos, dan Myanmar yang bekerja di sektor judi online dan penipuan siber. Ini adalah luka lain. Data menunjukkan bahwa 80.000 lebih WNI bekerja ilegal di Kamboja saja. Banyak dari mereka adalah korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Tapi sebagian juga sadar, dan tetap memilih jalan itu karena tidak melihat pilihan lain di tanah air.

 

Bukankah ini sebuah tamparan? Ketika sebagian anak bangsa melarikan diri bukan untuk mimpi, tapi untuk bertahan karena sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri dengan syarat rumit dan seringnya tidak masuk akal.

 

Peran Kementrian P2MI mereka telah bertransformasi dari sekadar fasilitator menjadi pelindung. Tapi masih banyak pekerjaan rumah dari transparansi rekrutmen, pengawasan perusahaan penempatan, hingga purna PMI (Pekerja Migran Indonesia) yang kembali tanpa masa depan.

 

Disisi lain Ranny melihat kementrian luar negeri harus memperkuat diplomasi perlindungan, bukan sekadar menjalin kerjasama ekonomi. Indonesia harus tampil sebagai negara yang tidak hanya mengirim tenaga kerja, tapi mengawal martabat rakyatnya di kancah internasional.

 

Kita tidak menolak hijrah. Tapi kita bermimpi bahwa suatu hari nanti, negara ini tidak lagi jadi tempat pelarian, tapi tempat kepulangan. Bahwa ketika seorang anak berkata, “Aku ingin jadi ilmuwan,” orang tuanya tidak menjawab, “Cari beasiswa ke luar negeri ya.”

 

 

 

Kami ingin putra putri Indonesia bisa berpikir, berkarya, mencipta, dan dihargai tanpa harus menyeberangi lautan. Kami ingin negara yang menjadikan kecerdasan sebagai modal utama pembangunan, bukan hanya ekspor tenaga kerja. Bekerja di luar negeri bukan pengkhianatan. Tapi jika semua talenta pergi, siapa yang akan membangun negeri?

Kami tidak memihak. Kami hanya merenung.

 

Bahwa keputusan untuk tinggal atau pergi adalah pilihan eksistensial yang tak bisa diseragamkan. Tapi negara punya tugas besar membuat anak-anaknya merasa dihargai di rumahnya sendiri.

 

Sampai saat itu tiba, para pemikir, periset, dan pemimpi masih akan terus berjalan. Sebagian melangkah ke luar. Sebagian bertahan. Tapi semuanya menatap langit yang sama. langit tanah air yang mereka cintai, meski kadang terasa asing, tutup Ranny.

 

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita