Fahd A Rafiq : Koperasi dalam Bayang Negara, Sebuah Tafsir Eksistensial atas Perekonomian yang Tersesat

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Bagian 1

Jakarta – pada suatu pagi yang hening di desa yang belum tersentuh sinyal 5G, sepasang pria dan wanita yang tertambat pada daya tarik akal dan pencarian makna duduk menatap hamparan sawah. Angin yang melintasi daun-daun padi seakan menyampaikan kabar yang tidak pernah diliput media, kabar tentang negeri yang lupa pada akar dan sibuk menanam pohon plastik di taman-taman buatan bernama program, ucap Fahd El Fouz A Rafiq di awal kisahnya di Jakarta pada Jum’at (4/7/2025).

Ketum DPP BAPERA menceritakan kisah ini dengan cara yang berbeda, mereka bukan pasangan dalam kisah cinta picisan. Mereka mencintai karena berpikir, bukan karena bentuk. Mereka bukan cuma bertanya “Kementerian Koperasi itu tugasnya apa sih?” mereka menguliti pertanyaan itu hingga menemukan urat nadi kegagalan sistemik yang selama ini membalut wajah pembangunan dengan kosmetika anggaran, terangnya.

 

Lebih lanjut Fahd melihat di dalam struktur kenegaraan, lahirlah satu kementerian yang tampak mulia dari luar namun gamang di dalam yakni Kementerian Koperasi dan UKM. Mandatnya terlihat bijak memberdayakan rakyat kecil, mendorong usaha bersama, mengangkat ekonomi akar rumput. Namun, jika kita menelusuri jejaknya bukan lewat press release, melainkan lewat aroma tanah, jerit petani, dan sunyi warung kelontong yang sepi pembeli, kita akan menemukan paradoks koperasi yang seharusnya tumbuh dari rakyat, justru dipaksakan dari langit kekuasaan. Kenapa negara ini punya Kementerian Koperasi, tapi tidak punya Kementerian Perseroan Terbatas?” tanya si pria sambil mengaduk kopi robusta lokal yang dia beli dari koperasi yang kini tinggal papan nama, cetusnya.

“Karena koperasi dianggap romantisme ekonomi, bukan realitas bisnis,” jawab si wanita. “Padahal, perseroan tumbuh liar di tanah yang tidak perlu disiram subsidi.”

 

Sejarah memberi kita kaca retak

Mantan Ketum DPP KNPI ini menjelaskan, “koperasi di zaman Orde Baru dikerdilkan menjadi KUD (Koperasi Unit Desa) yang bukan lahir dari keinginan rakyat, tapi dari kehendak pusat. Mereka diberi triliunan rupiah, tapi lupa diberi literasi. Mereka dibentuk untuk rakyat, tapi tidak bersama rakyat. Lalu mati, pelan-pelan. Seperti menanam benih di tanah yang tidak mereka cintai, lalu menuduh matahari karena gagal panen, terangnya.

 

Kini sejarah itu hendak diulang dengan nama baru Koperasi Desa Merah Putih (KDMP). Jumlahnya bombastis 80 ribu koperasi. Anggarannya kolosal Rp 400 triliun. Targetnya utopis yakni laba Rp 1 miliar per tahun per koperasi, sungguh target yang ambisius kata Mantan Ketum PP – AMPG ini.

 

Tapi satu hal yang luput rakyat tidak pernah diajak berdiskusi. Mereka diajak menerima. Seperti seorang anak yang dipaksa makan kue ulang tahun yang tidak mereka pesan. Kau tahu,” bisik si wanita, “ini bukan pembangunan. Ini hipnosis anggaran.” “Dan tahun 2029 itu bukan tentang koperasi,” balas si pria, “tapi tentang suara rakyat yang dibeli dengan mimpi kolektif.”, terangnya.

 

Di dalam koperasi, seharusnya terpatri semangat demokrasi ekonomi satu orang satu suara, bukan satu partai satu proyek. Tapi koperasi yang tumbuh dari program cenderung kehilangan ruh itu.

Mereka menjadi entitas zombie, hidup di atas kertas, mati di lapangan.

Pria itu mengutip Kalimat Bung Hatta bapak koperasi yang lebih sering disebut dari pada dipahami “Aku menangis melihat koperasi dijadikan alat kekuasaan, bukan kekuatan rakyat.” Wanita itu menambahkan, “Kalau Bung Hatta hidup hari ini, mungkin dia akan minta namanya dihapus dari patung-patung.”

 

Koperasi bukan masalah bentuk hukum. Ini adalah masalah kesadaran kolektif. Ia bukan sekadar soal modal dan laporan keuangan, tapi soal keyakinan bahwa bersama lebih kuat dari pada sendiri. Maka koperasi harus tumbuh dari kesadaran warga, bukan cetak biru kementerian.

 

Lalu bagaimana seharusnya kita membangkitkan koperasi?

Pertama, dengan mencerdaskan bukan dengan seminar sekali pakai atau modul dari ibu kota. Tapi dengan kehadiran intelektual di desa, mentor yang mendengarkan, dan pendidikan yang kontekstual.

 

Kedua, dengan memberdayakan potensi lokal, bukan menyeragamkan usaha. Di satu desa bisa lahir koperasi jamu herbal, di desa lain bisa tumbuh koperasi digital kreatif. Negara cukup menjadi pembuka jalan, bukan sopir bus proyek.

 

Ketiga, dengan menumbuhkan teknologi, dari sistem transparansi keuangan digital, sampai pemasaran daring.

Keempat, dengan menjamin akses ke pasar dan modal yang adil. Tanpa akses pasar, koperasi hanya akan menjadi tempat menumpuk stok barang tak terjual.

Dan kelima, dengan menghapus ilusi top-down. Pemerintah harus merendah, memberi ruang, dan berhenti merasa tahu segalanya tentang desa.

 

Koperasi sejatinya adalah simbol perlawanan terhadap ekonomi predatorik di mana pasar bebas tidak selalu adil, dan modal besar bisa menelan yang kecil. Di dunia yang dikuasai unicorn dan venture capital, koperasi adalah perahu kecil rakyat. Tapi apakah perahu ini masih bisa berlayar? Atau sudah pecah dihantam birokrasi dan populisme?

 

Kita hari ini berada di titik kritis, bukan hanya dalam ekonomi, tapi dalam eksistensi kebangsaan. Koperasi bukan soal untung rugi. Ia soal identitas ekonomi bangsa dan negara. Apakah kita masih percaya bahwa rakyat bisa berdaya bersama? Atau kita sudah pasrah menyerahkan nasib pada segelintir elite yang membagi proyek seperti kue ulang tahun?

 

Dalam kesunyian pagi, pria dan wanita itu saling bertukar pandang. “Koperasi ini,” kata pria itu, “bukan soal apakah bisa bisnis. Tapi apakah kita masih punya nurani untuk percaya pada kekuatan bersama.”

 

“Koperasi ini,” balas si wanita, “adalah cermin. Jika ia gagal, maka kita gagal sebagai bangsa dan negara dalam bidang ekonomi”

 

Angin pun melintasi sawah kembali. Tak ada spanduk program di situ. Tapi ada harapan, bahwa jika koperasi lahir dari akar, bukan dari langit kekuasaan, mungkin kita masih bisa menulis ulang sejarah. Bukan sebagai bangsa proyek, tapi sebagai bangsa yang berdaulat di bidang ekonomi, bukan lewat wacana, tapi lewat kerja kolektif yang lahir dari akal sehat, bukan ambisi politik.

 

Jika Anda merasa tulisan ini mengganggu kenyamanan berpikir Anda, mungkin sudah saatnya kita bertanya? apakah kita benar-benar ingin koperasi berhasil, atau hanya ingin ia jadi slogan abadi dalam naskah pidato pejabat?

 

Koperasi, pada akhirnya, bukan alat. Ia adalah cermin keberanian pada rakyat kita sendiri. Dan keberanian itu, sayangnya, seringkali absen di ruang rapat para elit, tutup dosen yang mengajar di negeri Jiran ini dengan sudut pandang dan kisah yang semoga bisa di mengerti banyak orang.

 

Penulis: A.S.W

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Advertorial

Berita Lainnya

Leave a Comment

Advertorial

Berita Terpopuler

Kategori Berita